Halaman

Sabtu, 10 Oktober 2020

Ngaji, Masker, dan Zoom: Cerita Santri Pasca Pandemi

 



Ada satu hal yang aku pelajari selama pandemi: nggak semua hal bisa diganti dengan online. Termasuk ketawa bareng santri, ngaji habis subuh, dan obrolan ngalor-ngidul di depan kamar pakai sarung bolong.

Waktu semua serba ditutup, aku cuma bisa bilang dalam hati, “This is not how it’s supposed to be.” Tapi ya sudahlah, kita semua belajar untuk menerima, untuk tahan, dan… untuk install Zoom.

Zoom yang Bikin Zonk

Dulu aku pikir jadi guru online itu asik. Duduk di rumah, pakai baju rapi separuh badan (yes, only the top half), kopi di tangan, dan tinggal buka laptop. Tapi ternyata… kenyataan nggak seindah promo iklan provider.

  • Sinyal putus nyambung.

  • Santri jawab tugas seminggu kemudian.

  • Ada yang baru join Zoom pas aku udah selesai ngomong.

Dan puncaknya? Satu santri bilang, “Ustadz, saya kira ini belum mulai. Saya tadi tidur.”

Good job, Nak. Honesty level: 100.

Balik Lagi ke Pondok: Rasanya Kayak Lebaran

Waktu akhirnya santri pada balik lagi ke pondok, jujur… aku pengin peluk satu-satu. Tapi ya tahu sendiri, “Keep your distance!” Akhirnya cuma saling lempar senyum di balik masker, tapi rasanya kayak dapet hadiah.

Yang bikin aku terharu, ada yang bilang, “Ustadz, saya lebih milih di pondok daripada di rumah. Di sini tenang, bisa ngaji tiap hari.”
Aku diem, senyum. Dalam hati, “That’s what I’m here for.”

Belajar Itu Bukan Soal Sinyal, Tapi Hati

Kalau pandemi ngajarin satu hal ke aku, itu ini:
Belajar itu bukan soal teknologi, tapi soal ketulusan.
Nggak peduli kamu ngajar pakai papan tulis atau Google Slides, kalau niatnya cuma formalitas, ya nggak akan nyampe ke hati. Tapi kalau kamu hadir, walau lewat layar, tapi beneran niat—percaya deh, anak-anak bisa ngerasain.

Dan sekarang, pas semua mulai kembali, aku makin yakin:
Being a teacher is not just a job. It's a mission.

Closing-nya Biar Ala-ala Instagram

Jadi buat kamu yang baca ini, entah guru, santri, orang tua, atau cuma nyasar ke blog ini pas scroll malam-malam:
Semoga kita tetap kuat, tetap waras, dan tetap tahu arah pulang.

Karena dunia mungkin berubah, tapi… kita tetap bisa jadi versi terbaik diri kita—with or without pandemic.

Senin, 14 September 2020

Kembali ke Pesantren, Kembali Belajar Menjadi Manusia

 



Tahun 2020 mengajari kami banyak hal. Tapi pelajaran paling berharga justru datang bukan dari buku, bukan dari kelas daring, dan bukan dari webinar. Ia datang dari ruang-ruang kosong yang dulu penuh tawa santri, dari lantunan adzan yang sempat terhenti, dan dari pesantren yang untuk pertama kalinya… sepi.

Pandemi memaksa kami menutup pintu sementara. Tapi hati kami tetap terbuka, tetap berharap.

Ketika Belajar Tak Lagi di Ruang Kelas

Sebagai guru, aku terbiasa dengan suara murid yang gaduh, catatan di papan tulis, dan koreksi tugas dengan pulpen merah. Tapi saat COVID-19 menyebar dan semua dipaksa diam di rumah, suasana itu lenyap. Tak ada lagi suara salam pagi. Tak ada lagi rebutan kursi di kelas.

Mengajar daring bukan hal mudah. Di pesantren, tidak semua anak punya ponsel, apalagi kuota. Tapi mereka tetap berusaha. Ada yang menulis tugas di kertas HVS lalu difoto pinjam HP ustadz, ada yang minta dijelaskan lewat suara karena sinyal tak kuat untuk video.

Dan aku sadar, belajar itu bukan soal teknologi. Tapi soal niat dan ketekunan.

Bukan Sekadar Kembali, Tapi Pulang dengan Cara Baru

Saat santri kembali ke pesantren setelah masa pandemi, ada rasa haru yang tidak bisa digambarkan.

Mereka tidak langsung memeluk, hanya menunduk dan mengangguk. Tapi aku tahu, mata mereka bicara lebih banyak dari lisan.

Kami mulai hari-hari dengan aturan baru: masker, jaga jarak, cuci tangan, dan pembelajaran terbatas. Tapi semangat mereka tidak berkurang. Bahkan, ada yang berkata, “Ustadz, saya lebih bersyukur sekarang. Bisa belajar langsung rasanya beda.”

Pesantren Bukan Hanya Tempat Tinggal, Tapi Tempat Tumbuh

Di masa sulit, pesantren membuktikan diri bukan sekadar lembaga. Ia adalah rumah. Ketika dunia di luar panik, kami berdoa bersama. Ketika berita buruk datang silih berganti, kami tetap menjaga ubudiyah, menjaga akhlak, dan menjaga harapan.

Aku melihat dengan mata kepala sendiri, bagaimana anak-anak tumbuh—bukan hanya menjadi pintar, tapi menjadi manusia.

Penutup: Pandemi Mengajar, Kita yang Memetik

Tahun 2020 mungkin tidak memberi kita kemeriahan, tapi ia memberi kedalaman.
Kita belajar bahwa pendidikan bukan sekadar kurikulum, tapi juga ketulusan dan kesabaran.
Bahwa guru bukan sekadar pengajar, tapi juga pelayan jiwa.
Dan bahwa pesantren bukan sekadar tempat belajar, tapi tempat membentuk karakter manusia seutuhnya.

Senin, 03 Agustus 2020

Setelah Badai: Menata Hidup Pasca Pandemi

 


Siapa yang menyangka, awal tahun 2020 akan dimulai dengan kejutan terbesar yang pernah kita alami bersama? Dunia mendadak hening. Jalanan sepi, sekolah tutup, masjid dan gereja lengang, bahkan udara terasa berbeda. COVID-19 hadir dan mengubah cara kita hidup, bekerja, belajar, dan bahkan bersosialisasi.

Sekarang, saat kurva mulai melandai dan sebagian aktivitas kembali dibuka, satu pertanyaan muncul di benak kita: kehidupan seperti apa yang sedang kita jalani sekarang?

Bukan Kembali Normal, Tapi Menemukan Irama Baru

Kita sering mendengar istilah “new normal”. Tapi jika dipikirkan baik-baik, tidak ada yang benar-benar kembali normal. Kita tidak lagi bersalaman sembarangan, tidak mudah keluar rumah tanpa masker, dan tidak seenaknya berkumpul tanpa batas.

Namun, dari semua keterbatasan itu, kita justru menemukan banyak hal baru:

  • Kita jadi lebih perhatian pada kesehatan diri dan keluarga.

  • Kita belajar mencuci tangan dengan benar, dan lebih menghargai udara segar.

  • Kita belajar bahwa rumah bukan sekadar tempat tidur, tapi tempat tumbuh.

Diam yang Mengajarkan Banyak Hal

Saat dunia melambat, banyak dari kita justru mengalami percepatan dalam pikiran dan hati.

Kita mulai memikirkan kembali tujuan hidup.
Kita jadi lebih menghargai pekerjaan para petugas medis, tukang sayur, hingga pengantar paket.
Dan yang paling menyentuh, kita menyadari betapa pentingnya pelukan dan sapaan hangat dari orang-orang terdekat.

Pandemi ini memaksa kita untuk diam, tapi dalam diam itu, kita belajar mendengar—bukan hanya orang lain, tapi juga suara hati sendiri.

Bersyukur Adalah Vaksin Terkuat

Tidak semua orang melewati masa pandemi dengan cara yang sama. Ada yang kehilangan pekerjaan, ada yang kehilangan orang tercinta. Ada yang hanya bisa menangis dalam sunyi, tapi tetap berdiri di pagi hari dengan senyum dipaksakan.

Namun, satu hal yang bisa menyatukan kita semua adalah rasa syukur.
Bersyukur masih diberi napas.
Bersyukur masih bisa makan bersama keluarga.
Bersyukur masih bisa berkata, “aku baik-baik saja.”

Dunia Setelah Ini

Kita belum tahu seperti apa dunia tahun depan. Tapi satu hal pasti: kita tidak lagi sama seperti sebelum 2020.
Dan itu bukan hal yang buruk.

Kita sekarang lebih tangguh, lebih peduli, dan lebih tahu arti “cukup.”
Dunia memang sempat terhenti, tapi hati kita tidak.
Ia tumbuh, perlahan—dengan luka, harapan, dan semangat baru.

Senin, 30 Maret 2020

COVID-19: Ujian Dunia dan Kekuatan Solidaritas

 


Tahun 2019 menjadi tahun yang mengubah wajah dunia. Kita dihadapkan pada musuh tak terlihat—virus corona baru atau COVID-19—yang menyebar begitu cepat dan mengubah hampir seluruh aspek kehidupan manusia.

Apa Itu COVID-19?

COVID-19 adalah penyakit yang disebabkan oleh virus corona jenis baru yang pertama kali terdeteksi di Wuhan, Tiongkok pada Desember 2019. Nama “COVID-19” sendiri adalah singkatan dari Coronavirus Disease 2019. Penyakit ini menyebar melalui droplet atau percikan kecil dari batuk dan bersin orang yang terinfeksi, dan bahkan bisa menular dari orang yang tampak sehat.

Fakta dan Data yang Perlu Kita Tahu

Berikut beberapa data penting yang tercatat hingga akhir Maret 2020:

  • Lebih dari 750.000 kasus terkonfirmasi secara global.

  • Italia, Spanyol, dan Amerika Serikat menjadi negara dengan kasus terbanyak setelah Tiongkok.

  • Angka kematian global melampaui 35.000 jiwa dan terus bertambah setiap harinya.

  • WHO (World Health Organization) resmi menyatakan COVID-19 sebagai pandemi global pada 11 Maret 2020.

Dampaknya Bukan Hanya Kesehatan

COVID-19 bukan hanya soal kesehatan. Pandemi ini membuat:

  • Sekolah dan kampus tutup.

  • Kantor-kantor menerapkan work from home.

  • Bandara sepi, pariwisata lumpuh.

  • Masjid dan gereja tidak lagi ramai oleh jemaah.

Kita semua dipaksa menyesuaikan diri dengan “normal baru”—mengenakan masker, menjaga jarak, mencuci tangan, dan menghindari kerumunan.

Dari Ketakutan, Lahir Harapan

Meski banyak ketakutan dan kehilangan, ada satu hal yang justru tumbuh subur: solidaritas.

  • Warga saling bantu membagikan sembako.

  • Para tenaga medis disebut sebagai pahlawan garda depan.

  • Teknologi digunakan untuk kebaikan—belajar online, rapat virtual, hingga penggalangan dana digital.

Pelajaran yang Kita Dapat

COVID-19 mengajarkan bahwa kita sebagai manusia rentan, tapi juga kuat. Kuat karena kita bisa beradaptasi. Kuat karena kita saling menjaga. Dan kuat karena kita percaya bahwa badai ini pasti berlalu.

Semoga kita keluar dari pandemi ini bukan hanya dengan tubuh yang sehat, tetapi juga dengan jiwa yang lebih bijak dan hati yang lebih peduli.