Halaman

Senin, 14 September 2020

Kembali ke Pesantren, Kembali Belajar Menjadi Manusia

 



Tahun 2020 mengajari kami banyak hal. Tapi pelajaran paling berharga justru datang bukan dari buku, bukan dari kelas daring, dan bukan dari webinar. Ia datang dari ruang-ruang kosong yang dulu penuh tawa santri, dari lantunan adzan yang sempat terhenti, dan dari pesantren yang untuk pertama kalinya… sepi.

Pandemi memaksa kami menutup pintu sementara. Tapi hati kami tetap terbuka, tetap berharap.

Ketika Belajar Tak Lagi di Ruang Kelas

Sebagai guru, aku terbiasa dengan suara murid yang gaduh, catatan di papan tulis, dan koreksi tugas dengan pulpen merah. Tapi saat COVID-19 menyebar dan semua dipaksa diam di rumah, suasana itu lenyap. Tak ada lagi suara salam pagi. Tak ada lagi rebutan kursi di kelas.

Mengajar daring bukan hal mudah. Di pesantren, tidak semua anak punya ponsel, apalagi kuota. Tapi mereka tetap berusaha. Ada yang menulis tugas di kertas HVS lalu difoto pinjam HP ustadz, ada yang minta dijelaskan lewat suara karena sinyal tak kuat untuk video.

Dan aku sadar, belajar itu bukan soal teknologi. Tapi soal niat dan ketekunan.

Bukan Sekadar Kembali, Tapi Pulang dengan Cara Baru

Saat santri kembali ke pesantren setelah masa pandemi, ada rasa haru yang tidak bisa digambarkan.

Mereka tidak langsung memeluk, hanya menunduk dan mengangguk. Tapi aku tahu, mata mereka bicara lebih banyak dari lisan.

Kami mulai hari-hari dengan aturan baru: masker, jaga jarak, cuci tangan, dan pembelajaran terbatas. Tapi semangat mereka tidak berkurang. Bahkan, ada yang berkata, “Ustadz, saya lebih bersyukur sekarang. Bisa belajar langsung rasanya beda.”

Pesantren Bukan Hanya Tempat Tinggal, Tapi Tempat Tumbuh

Di masa sulit, pesantren membuktikan diri bukan sekadar lembaga. Ia adalah rumah. Ketika dunia di luar panik, kami berdoa bersama. Ketika berita buruk datang silih berganti, kami tetap menjaga ubudiyah, menjaga akhlak, dan menjaga harapan.

Aku melihat dengan mata kepala sendiri, bagaimana anak-anak tumbuh—bukan hanya menjadi pintar, tapi menjadi manusia.

Penutup: Pandemi Mengajar, Kita yang Memetik

Tahun 2020 mungkin tidak memberi kita kemeriahan, tapi ia memberi kedalaman.
Kita belajar bahwa pendidikan bukan sekadar kurikulum, tapi juga ketulusan dan kesabaran.
Bahwa guru bukan sekadar pengajar, tapi juga pelayan jiwa.
Dan bahwa pesantren bukan sekadar tempat belajar, tapi tempat membentuk karakter manusia seutuhnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.