Ada satu hal yang aku pelajari selama pandemi: nggak semua hal bisa diganti dengan online. Termasuk ketawa bareng santri, ngaji habis subuh, dan obrolan ngalor-ngidul di depan kamar pakai sarung bolong.
Waktu semua serba ditutup, aku cuma bisa bilang dalam hati, “This is not how it’s supposed to be.” Tapi ya sudahlah, kita semua belajar untuk menerima, untuk tahan, dan… untuk install Zoom.
Zoom yang Bikin Zonk
Dulu aku pikir jadi guru online itu asik. Duduk di rumah, pakai baju rapi separuh badan (yes, only the top half), kopi di tangan, dan tinggal buka laptop. Tapi ternyata… kenyataan nggak seindah promo iklan provider.
-
Sinyal putus nyambung.
-
Santri jawab tugas seminggu kemudian.
-
Ada yang baru join Zoom pas aku udah selesai ngomong.
Dan puncaknya? Satu santri bilang, “Ustadz, saya kira ini belum mulai. Saya tadi tidur.”
Good job, Nak. Honesty level: 100.
Balik Lagi ke Pondok: Rasanya Kayak Lebaran
Waktu akhirnya santri pada balik lagi ke pondok, jujur… aku pengin peluk satu-satu. Tapi ya tahu sendiri, “Keep your distance!” Akhirnya cuma saling lempar senyum di balik masker, tapi rasanya kayak dapet hadiah.
Yang bikin aku terharu, ada yang bilang, “Ustadz, saya lebih milih di pondok daripada di rumah. Di sini tenang, bisa ngaji tiap hari.”
Aku diem, senyum. Dalam hati, “That’s what I’m here for.”
Belajar Itu Bukan Soal Sinyal, Tapi Hati
Kalau pandemi ngajarin satu hal ke aku, itu ini:
Belajar itu bukan soal teknologi, tapi soal ketulusan.
Nggak peduli kamu ngajar pakai papan tulis atau Google Slides, kalau niatnya cuma formalitas, ya nggak akan nyampe ke hati. Tapi kalau kamu hadir, walau lewat layar, tapi beneran niat—percaya deh, anak-anak bisa ngerasain.
Dan sekarang, pas semua mulai kembali, aku makin yakin:
Being a teacher is not just a job. It's a mission.
Closing-nya Biar Ala-ala Instagram
Jadi buat kamu yang baca ini, entah guru, santri, orang tua, atau cuma nyasar ke blog ini pas scroll malam-malam:
Semoga kita tetap kuat, tetap waras, dan tetap tahu arah pulang.
Karena dunia mungkin berubah, tapi… kita tetap bisa jadi versi terbaik diri kita—with or without pandemic.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.