Selamat datang, 2021.
Kalau kamu tanya kabarku, ya… masih waras, masih ngajar, masih hidup.
And you know what? That’s already an achievement.
Setelah 2020 yang penuh drama—lockdown, belajar daring, cuci tangan 40 kali sehari, sampai tidur pakai masker—tahun ini rasanya seperti membuka lembaran baru. Tapi bukan kertas putih bersih, lebih seperti kertas yang sudah agak lecek… tapi masih bisa ditulisi lagi.
Tahun Baru Tapi Masih Sama: Kita Masih Di Sini
Di pesantren tempatku mengajar, awal tahun bukan tentang kembang api atau resolusi besar-besaran. Tapi tentang murid yang kembali masuk kelas, ngaji pagi yang tak lagi lewat speaker, dan suasana yang mulai terasa hidup meski belum seutuh dulu.
Kami masih pakai masker, masih jaga jarak, masih ngingetin santri buat jangan minum satu gelas rame-rame (lagi). Tapi ada yang beda:
semangatnya lebih tenang.
Nggak meledak-ledak, tapi stabil.
Nggak banyak harapan muluk, tapi penuh keikhlasan.
Dari “Overwhelmed” ke “More Aware”
Tahun lalu, jujur aja, banyak dari kita kelelahan. Overwhelmed, stuck di rumah, pusing karena harus jadi guru, orang tua, penghibur, dan teknisi Wi-Fi sekaligus.
Tapi tahun ini… rasanya kita lebih aware. Lebih paham mana yang penting, mana yang bisa ditunda. Lebih ngerti bahwa kesehatan itu bukan cuma soal badan, tapi juga soal batin.
Dan sebagai guru, aku sadar:
Kadang murid itu nggak butuh kita sempurna.
Mereka cuma butuh kita hadir, mendengar, dan bilang, “It’s okay to feel tired.”
Apa yang Aku Pelajari?
Kalau boleh jujur, tahun 2020 kemarin itu nggak gampang, tapi banyak ngasih pelajaran:
-
Bahwa ilmu itu bukan hanya yang diajarkan, tapi juga yang dirasakan.
-
Bahwa diam itu kadang lebih dalam dari ributnya diskusi.
-
Dan bahwa santri yang bandel kadang justru paling cepat peka kalau ustadznya lagi capek.
Aku makin yakin: jadi guru itu bukan soal transfer pengetahuan, tapi soal menyalakan semangat.
Jadi, 2021 Ini Mau Ngapain?
Nggak muluk-muluk.
Nggak harus jadi luar biasa.
Yang penting: jangan berhenti jadi baik.
Tetap ngajarin yang benar.
Tetap sabar sama yang lambat.
Tetap bersyukur meski uang saku belum naik-naik.
Karena kadang, jadi “biasa tapi istiqamah” jauh lebih hebat daripada jadi “hebat tapi sebentar.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.