Halaman

Senin, 23 Juni 2025

Kurikulum Merdeka: 10 Gagasan dengan Arahan Menteri Abdul Mu’ti (2025)

 


1. Keleluasaan dan Pembelajaran Mendalam

“Kurikulum Merdeka memberi keleluasaan dan memudahkan pendidik menerapkan pembelajaran yang lebih mendalam, sesuai dengan kebutuhan peserta didik” tiktok.com+15kurikulum.kemdikbud.go.id+15okemedan.com+15.
Menteri menegaskan pentingnya kebebasan guru dalam mengatur tempo dan konten pembelajaran agar konteks sesuai kebutuhan siswa.


2. Penetapan Kurikulum Resmi melalui Permendikbudristek

Melalui Permendikbudristek No. 12/2024, Kurikulum Merdeka menjadi kerangka baku nasional. “Memberikan kepercayaan yang lebih besar kepada guru untuk merancang pembelajaran sesuai konteks…”, tegas Kepala BS­KAP radargresik.jawapos.com+1jpbooks.co.id+1kurikulum.kemdikbud.go.id+2kurikulum.kemdikbud.go.id+2jpbooks.co.id+2.


3. Pendekatan Deep Learning sebagai Masa Depan

Abdul Mu’ti menyampaikan:

“Kurikulum Merdeka masih relatif baru… tidak mungkin kita melakukan perubahan di tengah tahun ajar… nanti arah pembelajaran ... adalah deep learning radargresik.jawapos.com.
Artinya, fokus ke pembelajaran bermakna, berlapis, dan reflektif.


4. Perubahan Tidak Mendadak di Tengah Tahun

“Saat ini tahun ajarannya sudah masuk pertengahan tahun, ya tidak mungkin kita melakukan perubahan kurikulum di tengah tahun ajaran.” okemedan.com+15radargresik.jawapos.com+15kurikulum.kemdikbud.go.id+15
Pendekatan transisi yang bertahap menjaga stabilitas dan kesiapan sekolah.


5. Kaji dan Dengarkan Aspirasi Sebelum Action

“...akan mengkaji semua kebijakan lama, sebelum mengambil keputusan, khususnya terkait Kurikulum Merdeka.” acerid.com+5okemedan.com+5kurikulum.kemdikbud.go.id+5
Pembaharuan kurikulum didasarkan pada masukan para pemangku kepentingan, tidak berdasarkan sentimen pergantian menteri.


6. Penguatan Pelaksanaan yang Belum Merata

Menteri mengakui:

“Kurikulum Merdeka masih relatif baru dan pelaksanaannya belum menyeluruh merata di seluruh sekolah.” radargresik.jawapos.com+1jpbooks.co.id+1
Artinya, fokus penguatan implementasi di sekolah belum optimal—memerlukan pendampingan dan evaluasi.


7. Asesmen dan Zonasi Disikapi Secara Seksama

“Soal Ujian Nasional, soal zonasi, Kurikulum Merdeka… nanti kita lihat semuanya secara sangat seksama. Dan kami akan sangat berhati-hati.” kurikulum.kemdikbud.go.id+15acerid.com+15youtube.com+15
Menteri memastikan kebijakan besar tidak diambil sepihak tanpa penelitian dampak.


8. Masih Baru, Butuh Pengkajian Berkelanjutan

“Abdul Mu’ti menyatakan bahwa Kurikulum Merdeka masih tergolong baru. Meskipun telah ditetapkan … ia mengakui …” news.detik.com+8winnicode.com+8radargresik.jawapos.com+8
Intinya, Kurikulum Merdeka belum mapan–perihelion evaluasi dan penyempurnaan terus dilakukan sepanjang waktu.


9. Mempersiapkan Model Pembelajaran Masa Depan

Dalam rapat dengan DPR (6 Nov 2024), beliau mengatakan pembelajaran mendalam (deep learning) mencakup tiga pilar: Mindful, Meaningful, dan Joyful Learning radargresik.jawapos.com.
Ini menjadi landasan visi pembelajaran yang memerdekakan peserta didik.


10. Transisi Kurikulum Tanpa Gangguan

Kebijakan Kurikulum Merdeka dipastikan berlanjut tanpa pergantian mendadak:

“Kurikulum Merdeka tidak bisa diganti di tengah-tengah masa tahun ajaran… pergantian kurikulum tidak bisa dilakukan di tengah-tengah masa ajaran” kurikulum.kemdikbud.go.id+1kurikulum.kemdikbud.go.id+1acerid.com.
Keseriusan memastikan proses pembelajaran tidak terganggu.


Penutup

Kurikulum Merdeka bukan hanya opsi, tapi kerangka pembaruan modalitas belajar—berbasis esensi, karakter, dan teknologi pendidikan modern. Menteri Abdul Mu’ti melihatnya sebagai terobosan positif, namun menekankan kehati-hatian, evaluasi data, kesiapan guru/sekolah, serta developer pembelajaran mendalam. Fokusnya jelas: bukan pergantian semata, melainkan penyempurnaan yang berkelanjutan dan manusiawi.

Rabu, 21 Juli 2021

2021 Belum Selesai, Tapi Aku Sudah Lelah (Dan Itu Gak Apa-apa)

 



Waktu nulis ini, aku lagi duduk di depan kamar, pakai sarung, sambil lihat halaman pondok yang agak sepi.
Beberapa santri ada yang baru sembuh dari isoman, beberapa ustadz kelihatan makin kurus, dan jujur… aku sendiri juga mulai ngerasa capek.

Capek mikir.
Capek ngurus.
Capek bilang, "semua akan baik-baik saja," padahal kadang aku sendiri gak yakin.

Gelombang Kedua Datang Tanpa Permisi

Baru aja kita ngerasa sedikit lega… santri udah mulai ngaji normal, kelas mulai hidup, kegiatan harian kembali jalan. Tapi tiba-tiba, gelombang kedua datang kayak tamu tak diundang yang langsung duduk di ruang tamu dan gak mau pergi.

Pondok mulai batasi lagi kegiatan.
Kunjungan ditiadakan.
Pengajian umum di-pending.

Dan aku harus balik lagi ke rutinitas mengajar sambil waspada:
masker di wajah, disinfektan di meja, dan doa di hati.

Bukan Soal Mengeluh, Tapi Mengaku

Aku gak nulis ini buat ngeluh. Aku cuma pengen jujur.
Bahwa jadi guru di pesantren di masa pandemi itu... bukan perkara ringan.

Kadang kita diminta jadi motivator, padahal kita sendiri sedang butuh semangat.
Diminta senyum, padahal kepala penuh beban.
Diminta sabar, padahal tidur gak nyampe 4 jam.

Tapi dari semua itu, aku belajar:
Kadang kita gak butuh kuat setiap hari. Yang penting gak nyerah.

Santri Juga Capek, Tapi Mereka Hebat

Aku lihat wajah-wajah muridku.
Mereka bosan, iya. Kangen pulang, jelas.
Tapi mereka masih berusaha tertawa, belajar, dan salim dari jauh pakai isyarat tangan.

Ada satu santri yang bilang, “Ustadz, rasanya kayak ngejar angin.”
Dan aku jawab, “Iya, tapi selama kamu lari ke arah yang benar, itu tetap kemajuan.”

Kadang, cuma hadir di kelas dan buka buku itu udah perjuangan.
Dan itu layak kita apresiasi.

Masih Ada Setengah Tahun Lagi

2021 belum selesai.
Masih ada waktu untuk memperbaiki, memperkuat, dan memperbanyak doa.
Nggak apa-apa kalau kita lelah. Yang penting jangan lupa istirahat, bukan menyerah.

Take a deep breath, dear teacher.
Take a break if you must, but don’t quit.

Karena siapa tahu, lelahmu hari ini jadi berkah untuk masa depan mereka.

Senin, 04 Januari 2021

2021: Kita Masih Bertahan, dan Itu Sudah Luar Biasa

 



Selamat datang, 2021.
Kalau kamu tanya kabarku, ya… masih waras, masih ngajar, masih hidup.
And you know what? That’s already an achievement.

Setelah 2020 yang penuh drama—lockdown, belajar daring, cuci tangan 40 kali sehari, sampai tidur pakai masker—tahun ini rasanya seperti membuka lembaran baru. Tapi bukan kertas putih bersih, lebih seperti kertas yang sudah agak lecek… tapi masih bisa ditulisi lagi.

Tahun Baru Tapi Masih Sama: Kita Masih Di Sini

Di pesantren tempatku mengajar, awal tahun bukan tentang kembang api atau resolusi besar-besaran. Tapi tentang murid yang kembali masuk kelas, ngaji pagi yang tak lagi lewat speaker, dan suasana yang mulai terasa hidup meski belum seutuh dulu.

Kami masih pakai masker, masih jaga jarak, masih ngingetin santri buat jangan minum satu gelas rame-rame (lagi). Tapi ada yang beda:
semangatnya lebih tenang.
Nggak meledak-ledak, tapi stabil.
Nggak banyak harapan muluk, tapi penuh keikhlasan.

Dari “Overwhelmed” ke “More Aware”

Tahun lalu, jujur aja, banyak dari kita kelelahan. Overwhelmed, stuck di rumah, pusing karena harus jadi guru, orang tua, penghibur, dan teknisi Wi-Fi sekaligus.

Tapi tahun ini… rasanya kita lebih aware. Lebih paham mana yang penting, mana yang bisa ditunda. Lebih ngerti bahwa kesehatan itu bukan cuma soal badan, tapi juga soal batin.

Dan sebagai guru, aku sadar:
Kadang murid itu nggak butuh kita sempurna.
Mereka cuma butuh kita hadir, mendengar, dan bilang, “It’s okay to feel tired.”

Apa yang Aku Pelajari?

Kalau boleh jujur, tahun 2020 kemarin itu nggak gampang, tapi banyak ngasih pelajaran:

  • Bahwa ilmu itu bukan hanya yang diajarkan, tapi juga yang dirasakan.

  • Bahwa diam itu kadang lebih dalam dari ributnya diskusi.

  • Dan bahwa santri yang bandel kadang justru paling cepat peka kalau ustadznya lagi capek.

Aku makin yakin: jadi guru itu bukan soal transfer pengetahuan, tapi soal menyalakan semangat.

Jadi, 2021 Ini Mau Ngapain?

Nggak muluk-muluk.
Nggak harus jadi luar biasa.
Yang penting: jangan berhenti jadi baik.

Tetap ngajarin yang benar.
Tetap sabar sama yang lambat.
Tetap bersyukur meski uang saku belum naik-naik.

Karena kadang, jadi “biasa tapi istiqamah” jauh lebih hebat daripada jadi “hebat tapi sebentar.”

Sabtu, 10 Oktober 2020

Ngaji, Masker, dan Zoom: Cerita Santri Pasca Pandemi

 



Ada satu hal yang aku pelajari selama pandemi: nggak semua hal bisa diganti dengan online. Termasuk ketawa bareng santri, ngaji habis subuh, dan obrolan ngalor-ngidul di depan kamar pakai sarung bolong.

Waktu semua serba ditutup, aku cuma bisa bilang dalam hati, “This is not how it’s supposed to be.” Tapi ya sudahlah, kita semua belajar untuk menerima, untuk tahan, dan… untuk install Zoom.

Zoom yang Bikin Zonk

Dulu aku pikir jadi guru online itu asik. Duduk di rumah, pakai baju rapi separuh badan (yes, only the top half), kopi di tangan, dan tinggal buka laptop. Tapi ternyata… kenyataan nggak seindah promo iklan provider.

  • Sinyal putus nyambung.

  • Santri jawab tugas seminggu kemudian.

  • Ada yang baru join Zoom pas aku udah selesai ngomong.

Dan puncaknya? Satu santri bilang, “Ustadz, saya kira ini belum mulai. Saya tadi tidur.”

Good job, Nak. Honesty level: 100.

Balik Lagi ke Pondok: Rasanya Kayak Lebaran

Waktu akhirnya santri pada balik lagi ke pondok, jujur… aku pengin peluk satu-satu. Tapi ya tahu sendiri, “Keep your distance!” Akhirnya cuma saling lempar senyum di balik masker, tapi rasanya kayak dapet hadiah.

Yang bikin aku terharu, ada yang bilang, “Ustadz, saya lebih milih di pondok daripada di rumah. Di sini tenang, bisa ngaji tiap hari.”
Aku diem, senyum. Dalam hati, “That’s what I’m here for.”

Belajar Itu Bukan Soal Sinyal, Tapi Hati

Kalau pandemi ngajarin satu hal ke aku, itu ini:
Belajar itu bukan soal teknologi, tapi soal ketulusan.
Nggak peduli kamu ngajar pakai papan tulis atau Google Slides, kalau niatnya cuma formalitas, ya nggak akan nyampe ke hati. Tapi kalau kamu hadir, walau lewat layar, tapi beneran niat—percaya deh, anak-anak bisa ngerasain.

Dan sekarang, pas semua mulai kembali, aku makin yakin:
Being a teacher is not just a job. It's a mission.

Closing-nya Biar Ala-ala Instagram

Jadi buat kamu yang baca ini, entah guru, santri, orang tua, atau cuma nyasar ke blog ini pas scroll malam-malam:
Semoga kita tetap kuat, tetap waras, dan tetap tahu arah pulang.

Karena dunia mungkin berubah, tapi… kita tetap bisa jadi versi terbaik diri kita—with or without pandemic.

Senin, 14 September 2020

Kembali ke Pesantren, Kembali Belajar Menjadi Manusia

 



Tahun 2020 mengajari kami banyak hal. Tapi pelajaran paling berharga justru datang bukan dari buku, bukan dari kelas daring, dan bukan dari webinar. Ia datang dari ruang-ruang kosong yang dulu penuh tawa santri, dari lantunan adzan yang sempat terhenti, dan dari pesantren yang untuk pertama kalinya… sepi.

Pandemi memaksa kami menutup pintu sementara. Tapi hati kami tetap terbuka, tetap berharap.

Ketika Belajar Tak Lagi di Ruang Kelas

Sebagai guru, aku terbiasa dengan suara murid yang gaduh, catatan di papan tulis, dan koreksi tugas dengan pulpen merah. Tapi saat COVID-19 menyebar dan semua dipaksa diam di rumah, suasana itu lenyap. Tak ada lagi suara salam pagi. Tak ada lagi rebutan kursi di kelas.

Mengajar daring bukan hal mudah. Di pesantren, tidak semua anak punya ponsel, apalagi kuota. Tapi mereka tetap berusaha. Ada yang menulis tugas di kertas HVS lalu difoto pinjam HP ustadz, ada yang minta dijelaskan lewat suara karena sinyal tak kuat untuk video.

Dan aku sadar, belajar itu bukan soal teknologi. Tapi soal niat dan ketekunan.

Bukan Sekadar Kembali, Tapi Pulang dengan Cara Baru

Saat santri kembali ke pesantren setelah masa pandemi, ada rasa haru yang tidak bisa digambarkan.

Mereka tidak langsung memeluk, hanya menunduk dan mengangguk. Tapi aku tahu, mata mereka bicara lebih banyak dari lisan.

Kami mulai hari-hari dengan aturan baru: masker, jaga jarak, cuci tangan, dan pembelajaran terbatas. Tapi semangat mereka tidak berkurang. Bahkan, ada yang berkata, “Ustadz, saya lebih bersyukur sekarang. Bisa belajar langsung rasanya beda.”

Pesantren Bukan Hanya Tempat Tinggal, Tapi Tempat Tumbuh

Di masa sulit, pesantren membuktikan diri bukan sekadar lembaga. Ia adalah rumah. Ketika dunia di luar panik, kami berdoa bersama. Ketika berita buruk datang silih berganti, kami tetap menjaga ubudiyah, menjaga akhlak, dan menjaga harapan.

Aku melihat dengan mata kepala sendiri, bagaimana anak-anak tumbuh—bukan hanya menjadi pintar, tapi menjadi manusia.

Penutup: Pandemi Mengajar, Kita yang Memetik

Tahun 2020 mungkin tidak memberi kita kemeriahan, tapi ia memberi kedalaman.
Kita belajar bahwa pendidikan bukan sekadar kurikulum, tapi juga ketulusan dan kesabaran.
Bahwa guru bukan sekadar pengajar, tapi juga pelayan jiwa.
Dan bahwa pesantren bukan sekadar tempat belajar, tapi tempat membentuk karakter manusia seutuhnya.