Halaman

Kamis, 05 November 2009

ANAK ALAMI KEKERASAN? SIMAK CIRI-CIRINYA

Bukan perkara gampang mendeteksi kekerasan pada anak. Namun dengan kejelian dan komunikasi terbuka, orang tua dengan mudah dapat melakukannya.
Kisah nyata ini dialami oleh seorang ibu yang tinggal di ibu kota. Ia mengeluhkan sikap anaknya yang tiba-tiba sulit disuruh mandi. "Baru diminta buka baju saja susah sekali." Tidak hanya itu, si kecil juga terlihat ketakutan saat bersentuhan dengan air. "Dia selalu menjerit-jerit begitu melihat air dalam bak mandi." Si ibu pantas heran, sebab sebelumnya si kecil tidak bersikap seperti itu.
Akhirnya, setelah mencari tahu penyebabnya, ia kaget bukan alang kepalang. "Anak saya sering dimandikan secara paksa oleh pengasuhnya. Bahkan si pengasuh kerap mengguyurkan air sehingga si kecil kesulitan bernapas," tuturnya dengan mimik sedih. Akibatnya, si kecil tidak hanya sulit disuruh mandi tapi juga takut terhadap air. Sayangnya lagi, informasi itu baru diketahui si ibu setelah si pengasuh tak lagi bekerja di situ. "Anak saya baru berterus terang saat pengasuhnya sudah tidak ada di rumah. Sewaktu si pengasuh masih ada di rumah, dia tak pernah berani cerita apa-apa."
Hal itu ada benarnya. Pendapat psikolog dari LPT UI (Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia), Muhammad Rizal, Psi., setidaknya bisa dijadikan gambaran. Kekerasan pada anak, katanya, dapat dibedakan menjadi dua macam, yakni kekerasan fisik (KF) dan kekerasan non-fisik (KNF). Kekerasan Fisik adalah tindakan yang bertujuan melukai, menyiksa menganiaya, atau memperlakukan anak secara kasar. Tindakan tersebut bisa dilakukan menggunakan anggota tubuh seperti tangan dan kaki, atau lewat bantuan alat-alat lain.



DISERTAI ANCAMAN
Beberapa tindakan yang dikategorikan sebagai KF antara lain memukul, menjewer, dan menendang. "Bahkan perilaku seperti menceboki anak dengan kaki pun bisa dikategorikan dengan tindak kekerasan." Hanya saja bukan perkara mudah mendeteksi KF yang dialami anak. Terlebih jika anak hanya mengalami kekerasan ringan seperti dijewer atau dicubit atau sebaliknya anak benar-benar mengalami KF berat seperti dipukul atau ditendang. Meski bekas memarnya tidak cepat hilang, orang tua tetap akan menemui kesulitan untuk memastikannya.
Soalnya, KF biasanya disertai oleh KNF. Setelah melakukan kekerasan, pelaku umumnya akan langsung mengancam si anak agar tidak membocorkan kejadian tersebut kepada siapa pun. Contohnya pengasuh yang mengancam tidak akan lagi mengajak si anak bermain jika memberitahukan kejadian tersebut kepada orang lain. Apalagi jika saat itu tidak ada orang tua/orang lain di tempat kejadian. Dengan begitu, anak akan menutup mulutnya rapat-rapat saat bertemu orang tuanya. Jadi, saat orang tua bertanya, "Kenapa tangan kamu merah dan bengkak?" anak ketakutan untuk menjawab apa adanya.
Jika KF saja sulit terdeksi, apalagi KNF. Masalahnya, KNF merupakan bentuk kekerasan yang melibatkan kata-kata, baik berupa ancaman atau kata-kata kasar. "Dampaknya secara langsung kadang amat sulit terdeteksi." Padahal tindakan tersebut sering mengganggu atau setidaknya menekan emosi korban. Secara kejiwaan, korban jadi tidak berani mengungkapkan pendapat, jadi kelewat penurut dan selalu bergantung. Akibat lebih lanjut, karena selalu dalam keadaan tertekan dan ketakutan, korban merupakan sasaran empuk bagi si pelaku untuk melanjutkan tindakannya.
Sedangkan pelakunya, menurut Ical, bisa siapa saja. Meski umumnya pelaku tindak kekerasan adalah orang-orang dekat atau setidaknya kenal dengan si anak. Data dari Komnas Perlindungan Anak selama Desember 1999 sampai Januari 2000 menyebutkan, dari 35 kasus yang dihimpun ternyata pelaku kekerasan ini dilakukan oleh ayah kandung (5 orang), ayah tiri (1 orang), ibu kandung (12 orang), ibu tiri (1 orang), paman (1 orang), tetangga (1 orang), orang lain yang dikenal (2 orang), dan orang lain yang tak dikenal (12 orang). Itu baru kasus-kasus yang muncul permukaan karena yang tidak diungkap justru jauh lebih banyak jumlahnya.
ANEKA DETEKSI
Menurut Ical, salah satu cara termudah untuk mendeteksi ada tidaknya kekerasan pada anak adalah dengan memonitor perilaku dan sikapnya. Cara ini sangat efektif mengingat kemampuan berkomunikasi anak batita sangat terbatas. Batita awal, contohnya, manalah bisa diharapkan mampu menuturkan kejadian buruk yang dialaminya dengan lancar, jelas, dan lengkap. Jadi, nyaris merupakan kesia-siaan bila orang tua ngotot mengorek pengalaman kekerasan yang dialami si anak batita. Terlebih bila benar anak menerima ancaman dari si pelaku.
* Gejala Regresi
Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan mengamati apakah anak memperlihatkan gejala regresi dalam kehidupannya sehari-hari. Regresi merupakan suatu bentuk kemunduran perilaku ke tahap sebelumnya. Biasanya, kondisi ini muncul karena anak mengalami pengalaman kurang menyenangkan bahkan traumatis. Ical lantas mencontohkan kasus anak yang tadinya gampang disuruh tidur kini malah selalu menangis menjerit-jerit sambil meronta-ronta saat lampu kamarnya diredupkan/dimatikan. Usut punya usut ternyata pengasuhnya hobi mengurung si anak di kamar dalam keadaan gelap setiap kali ia dianggap nakal atau rewel.
* Takut Berlebihan
Hal lain yang bisa diamati adalah munculnya ketakutan yang berlebihan pada benda-benda tertentu atau orang asing yang baru dikenalnya. Kekerasan yang pernah dialaminya membuat si anak takut menghadapi benda atau orang tersebut. Anak-anak yang mendapat perlakuan kasar dari anak tetangga yang tinggal di depan rumah, misalnya, besar kemungkinan akan takut keluar rumah atau melewati rumah itu.
* Bukti Fisik
Selain itu, orang tua juga bisa mendeteksi kekerasan lewat bukti fisik yang bisa terlihat seperti luka memar, luka gores, bengkak atau lebam yang dialami anak. Orang tua mesti jeli jika mendapati ciri-ciri tersebut pada si kecil. Sebab ada kemungkinan si kecil mengalami tindak kekerasan dari orang lain. Selanjutnya orang tua disarankan melakukan kroscek secara berulang untuk menguatkan dugaan tadi.
GALI INFORMASI
Memang tidak semua ciri yang disebutkan di atas pasti merupakan akibat kekerasan yang dialami anak oleh orang terdekatnya. Untuk membuktikannya, orang tua perlu menggali informasi lebih dalam dari si anak dan pengasuh. Tanyakan kepada si anak terlebih dahulu, "Kok tangan kamu bengkak, Dek?"
Agar anak bisa menjawab dengan tenang, orang tua harus bisa mengupayakan tempat yang nyaman seperti di kamar tidur atau di luar rumah. Dalam kondisi demikian, anak biasanya akan menjawab pertanyaan itu dengan santai dan jujur. Meski mungkin anak akan memberikan jawaban dengan sedikit kata dan banyak isyarat tubuh tentang luka di tubuhnya.
Jika si anak sudah bisa menjawab pertanyaan, atau bahkan tidak bisa menjawab sama sekali, orang tua bisa mengorek informasi dari orang sekitar yang saat itu berada dekat dengan anak. Jika cara ini juga tidak berhasil, orang tua bisa menanyakan langsung pada si pengasuh. Bila perlu, berikan jaminan Anda tidak akan memecatnya jika ia mau berterus terang. Dengan cara itu, diharapkan dia bisa menceritakan kejadian dengan sebenar-benarnya. Pengasuh yang baik pastinya akan berterus terang menceritakan peristiwa apa pun yang menimpa anak asuhnya. Ia tidak akan menutup-nutupi, bahkan langsung melaporkan saat majikannya datang. Misal, "Bu tadi Adek jatuh dari mainan kuda-kudaan. Tangannya lecet dan saya sudah menetesinya dengan obat luka."
Orang tua dituntut mampu bersikap bijak bila mendapati pengasuh anaknya melakukan tindak kekerasan. Jika tindakan itu hanya bersifat ringan dan dilakukan sekali atau dua kali, tak ada salahnya orang tua memberi maaf. Tentu saja dengan memberi peringatan sekaligus menuntut si pengasuh untuk berjanji tidak mengulangi perbuatannya. "Ingat, yang namanya manusia kan tidak bisa lepas dari sifat khilaf. Mungkin saat itu ia sedang kesal karena banyak masalah lalu secara tidak sadar melampiaskan kekesalannya pada si kecil."
Apalagi, ungkap Ical, usia batita merupakan masa berkembangnya sikap agresif. Saat ini anak bisa saja sedang senang melempar benda, memukul, menggigit atau melakukan bentuk-bentuk agresivitas lainnya. Perilaku semacam itu sangat mungkin membuat kesal si pengasuh. Artinya, orang tua juga harus menyadari sepenuhnya bahwa mengurus anak memang menuntut kesabaran ekstra.
AGRESIF: SALAH SATU DAMPAK NEGATIF
Yang tidak kalah penting, tambah Ical, orang tua perlu mewaspadai dampak negatif yang ditimbulkan oleh tindak kekerasan yang dialami anak. Dampak sesaat mungkin hanya berupa luka di tubuh. Namun, bagaimana bila anak sampai mengalami trauma terhadap benda atau orang tertentu. Bila luka di kulit bisa diobati dengan cepat, tak demikian halnya luka batin/pengalaman traumatis karena membutuhkan pengobatan yang lama.
Bahkan jika tidak diatasi dengan baik, trauma tersebut akan terus berlanjut sampai anak beranjak dewasa. Misalnya, takut berada di ruang gelap bisa dimulai dari pengalaman tidak enak di masa kecil. Yang memprihatinkan justru dampak jangka panjangnya, yakni anak belajar tentang kekerasan. Alam bawah sadarnya akan memotret semua perilaku agresif pengasuh atau orang terdekatnya. Kemudian secara tidak langsung akan diterapkannya saat ia dewasa kelak.
Lebih dari itu, secara otomatis anak juga akan melakukan pertahanan diri jika mengalami kekerasan. Jika pertahanan dirinya negatif, ia akan melakukan tindakan-tindakan yang menyimpang. Salah satunya dengan merusak diri sendiri seperti terlibat dalam obat-obat terlarang dan minuman keras atau mengganggu lingkungan. Dengan kata lain, tindak kekerasan pada anak akan berakibat negatif secara fisik maupun psikologis hingga ia dewasa kelak.
Untuk mengatasi dampak jangka pendek, orang tua perlu melakukan penanggulangan dengan cara menjauhkan anak dari sumber trauma. Setelah itu sedikit demi sedikit anak dijelaskan bahwa hal-hal yang ditakutkannya tidaklah terbukti. Jika anak takut air, orang tua bisa mengajak anak bermain air terlebih dahulu. Dengan begitu, anak tidak akan takut lagi jika disuruh mandi.
Disamping itu, orang tua juga perlu mengatasi sikap agresif anak agar tidak menjadi-jadi. Anak harus tahu, mana hal yang benar yang bisa dilakukannya dan mana pula hal yang salah yang tidak patut dilakukannya. Dengan cara ini, diharapkan anak mampu "menyaring" dan tidak meniru kekerasan yang dialami atau dilihatnya.
CIRI-CIRI SI KECIL MENJADI KORBAN KEKERASAN
Berikut beberapa tanda yang menurut Ical bisa dijadikan acuan bagi orang tua saat berusaha mendeteksi kekerasan pada anak:
* Agresif
Sikap agresif biasanya ditujukan anak kepada pelaku tindak kekerasan. Sikap agresif ini umumnya akan ditunjukkan saat anak merasa ada orang yang bisa melindungi dirinya. Saat ayah/ibu ada di rumah, anak langsung memukul atau melakukan tindakan agresif terhadap si pengasuh. Namun orang tua perlu hati-hati karena tidak semua sikap ini menunjukkan bahwa anak telah mengalami tindak kekerasan. Anak yang sedang dalam masa agresif, bisa saja ingin menunjukkan kepada orang tuanya mengenai sikap agresifnya.
* Cengeng
Cengeng atau rewel umumnya dilakukan saat anak kehilangan figur yang bisa melindunginya. Dalam situasi seperti itu anak merasa tidak aman. Contohnya, begitu ditinggal bekerja ibu-bapaknya, anak korban kekerasan akan selalu menangis meraung-raung. Lagi-lagi ciri ini juga tidaklah mutlak. Boleh jadi anak cengeng karena memang amat lengket dengan orang tuanya. Ia tidak ingin kehilangan atau jauh dari figur terdekatnya. Orang tua perlu mencek faktor-faktor lain untuk membuktikan ada tidaknya faktor kekerasan pada anak.
* Bersedih dan Depresi
Tindak kekerasan bisa membuat anak terpuruk pada kondisi depresi. Hal ini bisa dilihat dari sikap anak yang berubah drastis, semisal anak jadi memiliki gangguan tidur dan makan, tak jarang disertai penurunan berat badan secara mencolok dan menarik diri dari lingkungan yang menjadi sumber trauma. Sikapnya berubah menjadi pendiam serta anak terlihat kurang ekspresif.
MANFAATKAN TELEPON GENGGAM DAN KOMPUTER
Kemajuan teknologi jelas memberi kemudahan bagi orang tua untuk memantau aktivitas anak di rumah. Salah satunya pemantauan aktivitas lewat telepon genggam. Menurut Usun Pringgodigdo dari Nokia Sales Centre Jakarta, lewat HP dan observation camera orang tua bisa memantau anaknya di rumah. Perangkat ini merupakan pengembangan teknologi telepon multimedia yang marak akhir-akhir ini.
Dengan memasang alat tambahan berupa kamera di rumah, orang tua bisa menerima koneksi gambar kamera lewat telepon genggamnya dalam bentuk MMS (Multimedia Messaging Services). Untuk mendukung fasilitas ini dibutuhkan handphone multimedia yang bisa mengirim dan menerima MMS, sementara frekuensi pengiriman gambar bisa diatur sesuai keinginan. Dengan begitu saat di kantor, orang tua bisa memantau aktivitas anaknya sewaktu-waktu di rumah lewat ponsel miliknya. Perlu diketahui, harga satu pengiriman MMS menggunakan observation camera ini sama dengan pengiriman MMS biasa.
Adapun jumlah kamera yang dipasang bisa diatur sesuai pesanan. Hanya saja tiap observation camera yang bisa dipasang secara tersembunyi asal masih dalam jangkauan operator mesti dilengkapi dengan SIM card agar bisa beroperasi. Sebagai informasi, observation camera ini harganya sekitar Rp 4 jutaan dengan garansi setahun.
Selain MMS, telepon genggam juga bisa melihat pesan berbentuk video. Fasilitas yang diperlukan hanyalah WEB-cam dan koneksi ke internet. Untuk menggunakan fasilitas ini, pengguna harus memiliki telepon genggam yang memiliki fasilitas video streaming, lalu GPRS agar bisa koneksi ke internet, dan tentu saja WEB-cam. Biaya untuk fasilitas ini pastilah lebih mahal karena selain harus membeli fasilitas di atas, pengguna juga harus membayar biaya koneksi internet yang tidak murah.
Selain biaya, perlu juga diperhatikan kesiapan orang tua dan pengasuhnya sendiri. Pasalnya, pemantauan lewat kamera ini juga mungkin mengganggu privasi orang-orang di rumah. Semisal si pengasuh yang merasa tak dipercaya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar