Halaman

Minggu, 03 Januari 2010

makalah pers

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Ketika reformasi tahun 1998 digulirkan di Indonesia, pers nasional bangkit dari keterpurukannya dan kran kebebasan pers dibuka lagi yang ditandai dengan berlakunya UU No.40 Tahun 1999. berbagai kendala yang membuat pers nasional "terpasung", dilepaskan. SIUUP (surat izin usaha penerbitan pers) yang berlaku di era Orde baru tidak diperlukan lagi, siapa pun dan kapan pun dapat menerbitkan penerbitan pers tanpa persyaratan yang rumit.
Dan euforia reformasi pun hampir masuk, baik birokrasi pemerintahan maupun masyarakat mengedepankan nuansa demokratisasi. Namun, dengan maksud menjungjung asa demokrasi, sering terjadi "ide-ide" yang permunculannya acap kali melahirkan dampak yang merusak norma-norma dan etika. Bahkan cenderung mengabaikan kaidah profesionalisme, termasuk bidang profesi kewartawanan dan pers pada umumnya.
Malah kalangan instansi pemerintahan swasta dan masyarakat ada yang berpandangan sinis terhadap aktivitas jurnalistik yang dicap tidak lagi menghormati hak-hak narasumber. Penampilan pers nasional/daerah pun banyak menuai kritik dan dituding oleh masyarakat. Sementara disisi alin banyak contoh kasus dan kejadian yang menimpa media massa, dan maraknya initmidasi seta kekerasan terhadap wartawan
Pada tahun 2003-2004, perkara yang menarik perhatian public yaitu menimpa dua mass media nasional Harian "Kompas" dan grup MBM "Tempo" digugat grup PT Texmaco ke PN Jakarta Selatan. Kedua perkara tersebut kemudian dicabut ketika proses perkaranya sedang berjalan dipersidangan. Dalam kasus "Rakyat Merdeka", majelis hakim memutuskan bahwa pemred Rakyat merdeka dihukum karena terbukti turut membantu penyebaran.

.

Peningkatan kuantitas penerbitan pers yang tajam (booming), tidak disertai dengan pernyataan kualitas jurnalismenya. Sehingga banyak tudingan "miring" yang dialamatkan pada pers nasional. Ada juga media massa yang dituduh melakukan sensionalisme bahasa melalui pembuatan judul (headlines) yang bombasis, menampilkan "vulgarisasi: dan erotisasi informasi seks. Tetapi tentu saja kita tidak dapat melakukan generalisasi, harus diakui, bahwa masih banyak media massa yang mencoba tampil dengan elegan dan beretika, daripada yang menyajikan informasi sampah dan berselera rendah (bad taste).
Apakah benar pers nasional saat ini telah kebablasan?
Tinjauan teori.






BAB II
PERS DI INDONESIA

A.    Pengertian Pers
Apa bedanya jurnalistik dengan pers? Dalam pandangan orang awam, jurnalistik dan pers seolah sama atau bisa dipertukarkan satu sama lain. Sesungguhnya tidak, jurnalistik menujuk pada proses kegiatan, sedangkan pers berhubungan dengan media. Dengan demikian jurnalistik pers berarti proses kegaitan mencari, menggali, mengumpulkan, mengolah, memuat dan menyebarkan berita melalui media berkala pers yakni sura kabar, tabloid atau majalah kepada khalayak seluas-luasnya dengan secepat-cepatnya.

B.     Sejarah perkembangan pers.
      Pada zaman pemerintahan Cayus Julius (100-44 SM) di negara Romawi, dipancangkan beberapa papan tulis putih di lapangan terbuka di tempat rakyat berkumpul. Papan tulis yang disebut Forum Romanum itu berisi pengumuman-pengumuman resmi. Menurut isinya, papan pengumuman ini dapat dibedakan atas dua macam. Pertama Acta Senatus yang memuat laporan-laporan singkat tentang sidang-sidang senat dan keputusan-keputusannya. Kedua, Acta Diurna Populi Romawi yang memuat keputusan-keputusan dari rapat-rapat rakyat dan berita-berita lainnya. Acta Diurna ini merupakan alat propaganda pemerintah Romawi yang memuat berita-berita mengenai peristiwa-peristiwa yang perlu diketahui oleh rakyat.1

C. Sejarah perkembangan pers dunia (Eropa)

        Sejarah perkembangan pers di dunia khusunya di eropa tak pernah jauh merupakan cerminan dari pada zaman Romawi dan ditandai dengan lahir wartawan-wartawan pertama. Wartawan-wartwan ini terdri atas budaj-budak belian yang leh pemiliknya diberi tugas mengumpulkan informasi, berita-berita, bahkan juga menghadiri sidang-sidang senat dan melaporkan semua hasilnya baik secara lisan maupun tulisan.
       Surat kabar cetakan pertama baru terbit pada tahun 911 di Cina. Namanya King Pau, Surat kabar milik pemerintah yang diterbitkan dengan suatu peraturan khusus dari Kaisar Quang Soo ini, isinya adalah keputusan-keputusan rapat-rapat permusyawaratan dan berita-berita dari istana.









BAB III
FUNGSI UTAMA DAN UNSUR-UNSUR PERS

A.    Fungsi Utama Pers.
Pada dasarnya, fungsi pers dapat dirumuskan menjadi 5 bagian yaitu 6:
  1. Pers sebagai Informasi (to inform)
Fungsi pertama dari lima fungsi utama pers ialah menyapaikan informasi secepat-cepatnya kepada masyarakat yang seluas-luasnya. Setiap informasi yang disampaikan harus memenuhi kriteri dasar: actual, akurat, factual, menarik atau penting, benar, lengkap, utuh, jelas-jernih, jujur adil, berimbang, relevan . bermanpaat dan etis.
  1. Pers sebagai Edukasi (to educate).
Apa pun infromasi yang disebarluaskam pers hendaklah dalam kerangka mendidik (to educate). Sebagai lembaga ekonomi, pers memang dituntut berorientasi komersil untuk memperoleh keuntungan financial . namun orientasi dan misi komersil itu, sama sekali tidak boleh mengurangi, apalgi meniadakan fungsi dan tanggung jawab social, Seperti ditegaskan Wilbur Schramm dalam men, messages, dan media (1973), bagi masyarakat, pers adalah weatcher, teacher dan forum (pengamat, guru dan forum).
  1. Pers sebagai koreksi ( to influence).
Pers adalah pilar demokrasi keempat setelah legislative, eksekutif, dan yudikatif dalam kerangka ini, kehadiran pers dimaksudkan untuk mengawasi atau mengontrol kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif agar kekuasaan mereka tidak menjadi korup dan absolut.
  1. Pers sebagai rekreasi (to intertain).
Fungsi keempat pers adalah meghibur, pes harus mampu memeankan dirinya sebagai wahan rekreasi yang mnyennagkan seklaigus yang menyehatkan bagi smeua lapisan masyarakat. Artinya apa pun pesan rekreatif yang disajikan mulai dari cerita pendek sampai kepada teka-teki silang dan anekdot, tidak boleh bersifat negatif apalagi destruktif.
  1. Pers sebagai mediasi (to mediate)
Mediasi artinya penghubung atau sebgai fasilatator atau mediator. Pers harus mampu menghubungkan tempat yang satu dengan tempat yang lain, peristiwa yang satu dengan peristiwa yang lain, orang yang satu dengan eristiwa yang lain, atau orang yang satu dengan orang yang lain pada saat yang sama. Dalam buku karya McLuhan, Understanding Media (19966) menyatakan pers adalah perpanjang dan perluasan manusia (the extented of man)

B.     Unsur-Unsur Pers
B.1. Landasan Pers
Menurut Keputusan Dewan Pers No.79/XIV/1974 tertanggal 1 Desember 1974 yang ditandatangani Menpen Mashuri, SH, pers nasional berpijak kepada enam landasan. Pada zamn Orde Baru, enam landasan tersebut dijadikan semacam “rukun iman” bagi para pengusaha pers dan kalangan praktisi jurnalisitk agar tidak tersandung dan bebas dari ancaman perbredelan yang setiap saat mengahntui mereka oleh “hantu” pemerintah.
Secara yuridis, ketika itu UU Pokok Pers No.21 1982 (sekarang UU pokok pers No. 40/1999( memang dikenal dengan tegas menyatakan terhadap pers nasional tidak dikenai pembredelan. Namun secara politis, pemerintah sering tak menggubrisnya . pemrintah melalui Depatemen Penerangan bisa kapan saj membrangus pers yang dianggapnya “tidak sejalan dengan kebijakan pimpinan nasional”. Deppen pada waktu itu adalah depertemen yang paling ditakuti oleh siapa pun yang berkecimplung dalam penerbitan pers nasional.
Dalam SK Dewan Pers 79/1974 ditegaskan, pers nasional berpijak kepada enam landasan, yakni (1) landasan idiil adalah pancasila, (2) landasan konstitusional adalah UUD 1945, (3) landasan strategis operasional adalah garis-garis besar haluan negara (GBHN), (4) landasan yuridis formal adalah tata nilai dan norma budaya agama yang beraku pada masyarakat bangsa indonesia, dan (6) landasan etis opersioanl adalah kodi etik persatuan wartawan indoensia (PWI)
Namun yang menjadi permasalahan apakah SK Dewan Pers 79/1974 yang dikeluarkan pada era pemerintahan otokratis itu masih relevan untuk dijadikan rujukan bagi pers saat ini yang telah bernjak pada era demokratis?. Kami berpendapat bahwa sebagian kecil landasan tersebut sudah tidak relevan. Sedangkan untuk sebgain bear dampai kini masih tetap sangat relevan setelah disesuaikan dengan perkembangan serta ketentuan yang berlaku.
Untuk yang tidak relevan, misalnya tentang landasan strategis opersional, dalam era reformsai MPR tidak lagi menetapkan GBHN. Begitu juga dengan landasan etis, keharusan untuk menginduk hanya kepada satu organisasi profesi sudah sangt kadalruwarsa sebab kini wartawan boleh bergabung dengan salah satu organisasi profesi pers mana saja yang diinginkannya.
Lantas apakah landasan pers nasional jadi menyusut dari enam menjadi lima atau empat landasan, misalnya? Kami berpendapat, jumlah tidak mengalami perubahan tetap enam landasan. Hanya isinya dan urutuannya saja yang diubah serta disesuaikan. Bagaimanapun pers nasional perlu tetap memiliki landasan untuk menghindari ironi, tirnai, dan bahkan hegemoni kekuasaan dalam tumbuhnya sendiri.

B.1.1. Landasan Idiil.
Yakni landasan idiil pers, tetap pancasila. Artinya, selam ideologi negara tidak diganti, suka atau tidak suka, pers nasional harus tetap merujuk kepada pancasila sebagai iedeologi nasional, dasar negara, falsafah hidup bangsa, sumber tata nilai, dan sumber segala sumber hukum.
Di negara manapun, pers sangat dipengaruhi dan sangat bergantung pada ideologi serta sistem politik yang dianut negar bersangkutan. Dalam negara monarki, lahir dan berkembang pers monarki. Dalam negara liberal, lahir dan berkembang pers liberal kapitalistik. Lalu dalam negara majemuk seperti di indonesia, apakah etis mengambangkan pers liberal kapitalisitk yang berorientasi komersial semata dan hanya mengabdi kepada pemilik modal?



B.1.2. Landasan Konstitusional.
Landasan konstitusional, berarti menujuk kepada UUD 1945 setelah empat kali dilakukan amandemen dan ketetapan-ketetapan MPR yang mengatur tentang kebebasan berserikat, berkumpul, dan kebebasan menyatakan pikiran, pendapat baik lisan ataupun tulisan.
UUD bukanlah kitab suci yang tak boleh diganti atau direvisi. UUD tidak perlu disakralkan. Dangat berbahaya apabila UUD hanya dijadikan alat ritual. UUD harus dijadikan senanriasa aktual. Pers nasional harus memiliki pijakan konstitusional agar tak kehilangan kendali serta jati diri dalm kompetisi era global.

B.1.3. Landasan Yuridis Formal.
Landasan yuridis formal, mengacu kepada UU Pokok Pers No.40/1999 unutk pers, dan UU Po0kok Penyiaran No.32/2002 untuk media radio siaran dan media telivisi siaran. Sekedar actaatn, dalam UU Pokok Pers No.40/1999, pers dalam arti media cetak berkala dan pers dalam arti media radio siaran berkala dan media televsisi siaran berkala, diartikan sekaligus diperlakukan sama sehingga menjadi rancu serta difungsional.

B.1.4. Landasan strategis Operasional
Landasan strategis operasional, mengacu kepada kebijakan redasional media pers masing-masing secara internal yang berdampak kepada kepentingan sosial dan nasioanl. Setiap penerbitan pers harus memilki garis haluan manajerial dan redaksional.
Garis haluan manajerial berkaitan erat dengan filosofis, visi, orientasi, kebijakan dan kepentingan komersial. Garis haluan redaksional mangatur tentang kebijakan pemberitaan atau sesustu yang menyangkut materi isi serta kemasan penerbiutan media pers.

B.1.5. Landasan sosiologis Kultural
Landasan sosiologis kutural berpijak pada tata nilai dan norma sosial budaya agama yang berlaju pada dan seklaigus dijunu8nmg tinggi oleh masyarakat bangsa indonesia. Pers indonesia adalah pers naisonal yang sarat dimuati nilai serta tanggung jawab. Pers kita bukanlah pers liberal. Dalam segala sikap dan perilakunya, pers nasional dipengaruhi dan dipagari nilai-nilai kultural.
B.1.6. Landasan Etis Propesional.
Landasan etis propesional menginduk kepada kode etik profesi. Setiap organisasi pers harus memiliki kode etik. Secara teknis, beberapa organisasi pers bisa saja sepakat untuk hanya menginduk keada satu kode etik. Tetapi secara filosofis, setiap organisasi pers harus menyatakan terkait dan tunduk kepada ketentuan kode etik. Ini berarti tiap organisasi pers boleh memiliki kode etik sendiri, boleh juga menyepakati kode etik bersama.

B.2. Pilar penyangga pers
Pers itu ibarat sebuah bangunan, pers hanya akan bisa berdiri kokoh apabila bertumpu pada tiga pilar penyangga utama yang satu sama lian berfungsi saling menopang, tritunggal/ ketiga pilar itu ialah:
1.      Idealisme
2.      Pada pasal 6 UU Pokok pers No.40/1999, pers nasional melaksanakan peranann sebagai berikut:
1) Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui.
2) Menegaskan nilai-nilai dasar demokrasi dan hak-hak asasi manusia serta menghormati kebhinekaan.
3) Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat akurat, dan benar.
4) Melakukan pengawasan, kritik, koreksi dan saran terhadap halhal yang berkaitan dengan kepentingan umum.
5) Memperjuangkan keadilan dan kebenaran.


Profesionalime berarti isme atau paham yang menilai tinggi keahlian profesional khususnya, atau kemampuan pribadi pada umumnya, sebagai alat utama untuk mencapai keberhasilan.
Seseorang bisa disebut profesional apabila dia memenuhi enam ciri berikut:
a.       Memiliki keahlian tertentu yang diperoleh melalui penempaan pengalaman, pelatihan, atau pendidikan khsusus dibidangnya.
b.      Mendapat gaji, honorium atau imbalan materi yang sesuai dengan keahlian, tingkat pendidikan, atau pengalaman yang diperolehnya.
c.       Seluruh sikap, perilaku dan aktivitas pekerjaannya dipagari dengan dan dipengaruhi oleh keterikatan dirinya secara moral dan etika terhadap kode etik profesi.
d.      Secara sukarela bersedia untuk bergabung dalam salah satu organisasi profesi yang sesuai dengan keahliannya.
e.       Memiliki kecinaan dan dedikasi luar baiasa terhadap bidang pekerjaan profesi yang dipilih dan ditekuninya.
f.       Tidak semua orang mampu melaksankan pekerjaan profesi tersebut karena untuk bisa menyelaminya mensyaratkan penguasaan keterampilan atau keahlian tertentu.















BAB IV
PERS DAN POLITIK

A.     Hubungan Pers dan Politik Tinjauan History.
Pada era reformasi saat ini, ada fenomena yang menarik kaitannya politik dan pers. Banyak wartawan ikut serta terjun ke dunia politik. Para wartawan kini bukan hanya memberitakan pendidikan politik “dua+dua=empat”. Mereka juga ingin menjadi balon (bakal calon) yang ingin memimpin dan menjadi pemimpin.

B.  Hubungan Pers dan Politik Kini.
     Maka itu, jika wartawan kini berpolitik terang-terangan memang punya sejarahnya. Jika mereka menjadi corong rakyat bukanlah hal yang tidak mugkin. Jika mereka mematut-matut diri di rapat partai politik, tidak perlu heran bahkan, jika mereka nanti ikut bergoyang dombret, dipanggung kampanye, janaan ditertawakan. Pun untuk yang menjadi peserta who want to be president? Kenapa tidak?
      Duduk perkaranya tinggal di soal, bisakah ia melaksanakan tugas kewartawanan dengan baik? Bukankah wartawan punya tugas yang cukup berat? “wartawan harus berpegang teguh pada kebenaran dan setia kepada rakyat” tegas Bill Kovach dan Tom Rosendstiel (2001). Wartawan bekerja demi kemaslahatan publik. Ia tidak boleh gampang was-was dan berpihak pada urusan selain berita. Kerja memverifikasi beritanya, selain harus transparan dan sistematis, mesti independen. Tidak selingkuh dengan partai poitik atau penguasa atau pengusaha. Sebab bisakah mengharapkan wartawan meliput secara benar orang yang memiliki hubungan personal, intim dan loyalitas dengannya?
      Harus ada jarak personal agar wartawan. Bisa meliput dan menilai berita dengan mandiri,. Dari sanalah, antara lain kebenaran, sebagai penyampai kisah yang punya kredibilitas.
      Pengakuan tersebut diperoleh tidak take of garanted. Tetapi secara berulang-ulang, terus-menerus, diupayakan melalui pelbagai kode dan konvensi kebenaran yang layak dipercaya khalayak. Kredibilitas. (McNair, The Sociology of Journalism.1998).

C.  Pers negatif dan positif.
      Tatkala angin reformasi berhembus dengan kencang, koridor demokrasi pun perlahan tetapi pasti mulai terkuak. Ruang publik yang sebelumnya penuh dedngan jaring laba-laba kekuasaan yang setiap saat bisa membelenggu kebebasan pers Indonesai. Suara-suara alternatif yang sekian lama mengendap dibalik bilik kebisuan publik tiba-tiba menyeruak, seperti burung yang lepas dari sangkarnya, terbang kesana kemari.
      Kalau kita coba lukiskan perkembangan pers Indonesia akhir-akhir ini, paling tidak ada beberapa hal penting yang menujukan perubahan wajah pers pasca- Soeharto.
      Pertama, deregulasi media yang dilakukan rezim pasca-Soeharto seperti ditandai dengan dipermudahnya memperoleh izin dan dicabutnya sistem SIUPP telah menyebabkan maraknya penerbitan pers. Sayangnya peningkatan kuantitas media, belum dengan sendirinya disertai oleh perbaikan kualitas jurnalismenya.
      Sementara media yng cenderung partisan terus melakukan “sensasionalisme bahasa” seperti tampak lewat pemilihn judul (headline) yang bombantis atau desain cover yang norak, majalah dan tabloid hiburan justru melakuakn “vulgariasasi” dan “erotisasi” informasi seks. Kalau bisa diebut sebagai pers negatif, seperti itulah kriterianya.
      Kedua, maraknya apa yang disebut sebagai “media baru” (new media) dikalangan masyarakat kita akhir-akhir ini. Untuk menyebut di antaranya adalah internet dan teknologi multimedia yang semakin canggih. Akses internet membawa budaya baru dalam pemanfaatan waktu luang (leisure time). Dengan Internet, batas-batas ruang dan waktu telah musnah. Dan banyak lagi nilai manfaat dan nilai positif yang bisa diambil dan digunakan oleh pengguna media, demi efisiensi dan efektif kegiatan sehari-hari, tak berlebih jika kategori pers seperti adalah pers positif.
      Ketiga, menguatnya fenomena aoa yag dikenal sebagai tesisi “imprealisme media. Fenomena ini disebablan globaliasi media transnasional dan invasi produk hiburan impor yang menguasasi pasar media dalam negeri.

D.  Pers Kepentingan.
      Benarkah media massa bebas kepentingan? Jawabanya :tidak! Medi massa selalu terikat dan tumpang tindih dan sarat dengan pesan sponsor pemilik media, agenda terselebung dewan redaktur atau pun pelampiasan idealisme si waratwan. Ecenderungan pemberitaan media mssa akhir-akhir ini memperlihatkan bahwa sadar atau tidak, ia mampu membakar pertentangan antar suku, agama dan ras.






















BAB V
POTRET PERS DI INDONESIA

A.     Permasalahan dalam kebebasan pers.
Kebebasan pers yang muncul pada masa era reformasi ini ternyata membawa permasalahan baru. Peningkatan kuantitas penerbitan pers yang tajam (booming), tidak disertai dengan pernyataan kualitas jurnalismenya. Sehingga banyak tudingan "miring" yang dialamatkan pada pers nasional. Seperti kecurigaan pada praktek "jurnalisme preman", "jurnalisme pelintiran", jurnalisme omongan", dan tudingan-tudingan negative lainnya.
Ada juga media massa yang dituduh melakukan sensionalisme bahasa melalui pembuatan judul (headlines) yang bombasis, menampilkan "vulgarisasi: dan erotisasi informasi seks. Tetapi tentu saja kita tidak dapat melakukan generalisasi, harus diakui, bahwa masih banyak media massa yang mencoba tampil dengan elegan dan beretika, daripada yang menyajikan informasi sampah dan berselera rendah (bad taste).
Kemungkinan lain penyebab pers terus disorot, bahkan ada yang menyebut pers “kebablasan” adalah karena kurang profesionalnya jajaran aratwannya, kekurangan yang paling uatam adalah soal kemampuan memahami permasalahan yang akan diberitakan dan teknis ketermapilan menuliskannya. Untuk itu, wartawan di era reformasi perlu menguasai pengetahuan umum, skill, dan kepandaan menulis serta berapresiasi dalam kebebasan yang komperhensif dan partisipatif.
Memang aer reforamsi melahirkan dilema, masyarakat belum mamahami betul apa itu kebebasan pers serta apa yang akan dirasakan dari kebabasan itu sendiri. Masyarakat belum sadar sebenarnya kebebasan tersebut bukanlah untuk kepentingan kalangan pers sendiri, sebab secara tidak langsung ataupun langsung pers nasional merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari pembangunan bangsa dan negara.

B.   Masyarakat yang jenuh media.
Para ahli menyebut budaya dan masyarakat muktahir sebagi masyaakat yang enuh engan medi (medai saturrated society). Masyarakat muktahir adalah masyaraat yang dilimpahi dengan informasi berupa gambar, teks, bunyi, dan pesan-pesan visual, masyarakat yang dibanjiri informasi dan pesan-pesan komersial.
Mayarakat yang jenuh media ternyata juga telah menyebabkan narkotisasi media bagi masyarakat. “narkotiasasi” (narcotization) adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menggambarkan efek negatif atau efek menyimpang (dysfunction) dari medai massa. Istilah ini sebenarnya berasal dari Paul F.Lazarsfeld dan Robert K Merton. Dalam eseinya, “Mass Comuniation, Popular Tate and Organized Social Action” (1984), mereka menggunakan istilah “narkotizing Dysfunction” untuk menyebeut konsekuensi sosial dari media massa yang sering diabaikan. Media massa mereka pandang sebagai peneyabab apatisme politik dan keleusan massa.
BAB VI
KEBABASAN PERS ATAU KEBABLASAN PERS.


A.  Menilik wajah pers kita: antar kebebasan dan kebablasan.
      Apa yang pantas kita perbincangkan wajah pers nasional saat ini? Ada yang mengatakan, pers kita tengah memasuki sebuah era baru, era penuh kebebasan. Ini sejalan dengan perubahan pada konstalasi politik dan konstitusi nasional, yang memungkinkan para insan pers tidak lagi harus merasa jeli oleh kemungkinan kena brendel atau Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP)-nya dicabut. Eurofia kebebasan ini mewabah di mana-mana. Usaha penerbitan bermunculan bak cendawan di musim hujan.
      Namun, pada saat bersamaan muncul juga pendapat bahwa kebebasan pers kita sudah kelewatan, alias kebablasan. Dalam hal ini pers dianggap sudah keluar dari batas kepatutan atas peran yang dimainkannya. Di san-sini muncul suara keluhan dan nada ketir masyarakat, yang pada intinya bermuara pada keprihatianan terhadap pemberitaan media massa yang sebagian diantaranya terkesan tidak lagi mempertimbangkan dampaknya pada khslayak dan tiadanya unsur prioritas pemberitaan.
      Berbicara tentang pers, tentulah kita harus memasukan semua jenis media massa, mulai dari cetak, elektronik, hingga cyber media. Tak bisa dibantah, keprihatinan publik ada benarnya. sejumlah fakta sudah demikian terbuka untuk bisa dijadikan alasan. Di ketiga jenis media massa tersebut, kita bisa menyaksikan sejumlah distorsi dan penyelewengan-penyelewengan fungsi pers, mulai dari pemberitaan yang tidak akurat, kurang memerhatikan unsur cover both side, diabaikannya kaidah-kaidah kode etik jurnalistik (KEJ), hingga seringnya terjadi praktik pemeasan dan intimidasi oleh insan pers.
      Yang tak kalah menyeramkan adalah tayangan televisi dan internet, yang bukan saja dianggap mengeksploitasi pornografi dan kekerasan sehingga dianggap meresahkan masyarakat, tetapi juga sudah mengganggu dan merampas kenyamanan publik yang menjadi objek pembereritaan itu sendiri.ada baiknya coba kita hitung, adakah kerugian psikologis yang dialami seseorang yangh sengaja “dijebak” menajdi objek dalam sebuiah acara yang seolah-olah dirinya dikejar-kejar hantu atau menjadi seorang tersangka dalam sebuah tindak kriminal. Bisa juga disodorkan kasus adegan syur Yahya Zaini dan Maria Eva. Apakah ini pertanda bahwa wajah pers kita demikian buruknya?
      Kita memang harus berani mengatakan bahwa dalam dinamikanya, pers kita masih dalam proses pendewasaan. Dukup wajar jika di sana-sini masih jumpai sejumlah kelemahan, distorsi atau malah penyewengan. Meski demikian, memvonis pers sebagai satu-satunya pihak yang bersalah juga rasanya tak adil. Jika wajah pers demikian buruk, bukankah itu menjadi gambaran masyarakat kita sendiri? Barangkali, ada perlunya kita cermati pernytaan Prof, Stephen Hill, Direktur UNESCO Indonesia. Menurutnya, media hanyalah alat legitimasi perilaku dan tindakan bukan alat yang menciptakan keduanya.
       Karena itulah, barangkali yang harus diuapayakan agar wajah pers tidak seburuk sekarang, adalah bagaimana menciptakan sebuah titik temu atau keseimbangan antara kebebasan yang dimiliki media massa dan garis batas yang boleh dilaluinya. Keseimbangan itu harus dibuat dengan tanggung jawab, bukan dengan pengekangan. Tanggung jawab media dalam membangun budaya harus diletakkan pada penegmbangan kemampuan pekerja di media massa itu sendiri. Dan itu hanya mungkin bisa dilakukan jika memang perangkat hukum yang ada di negeri ini mamapu mengakomodasikan peran dan fungsi pers tanpa harus kehilangan wibawanya.
       Bagaimaan pun, pers bisa memainkan dua sisi yang berbeda. Pers bisa menjadi faktor kunci yang memberikan pencerahan dan mencerdaskan bagi publik. Menumbuhkan rasa optimisme, dan bahkan menguatkan budaya bangsa. Namun pada sisi lain, pers juuga bisa melumpuhkan, menjadi alat perusak taatnan kehidupan, bahkan disintegrsaikan bangsa. Untuk itulah, seklai lagi, sangat dibutuhkan, satu titik temu dan kesamaan pandang mengani sosok pers nasional.

B.  Ancaman Kebebasan Pers.
      Ancaman terberat bagi kemerdekaan pers d Indonesia saat ini justru dari kelompok massa. Walaupun ada ancaman dari pemerintah, polisi, maupun tentara, namun ancaman tersebut dari lembaga-lembaga tersebut atau perorangn dalam lembaga itu bisa lebih terkontrol, karena mereka punya pemimpin, yang bisa dimintai pertanggungjawaban, dan lembaga-lembaga itu mempunyai aturan baku yang dapat dijadikan rujukan.
      Ancaman lain terhadap kemerdekaan pers adalah tidak kalah pentingnya adalah dari peraturan perundangan lainnya, khususnya KUH pidana dan KUH perdata.peristiwa yng menimpa Tempo, Koran Tempo, Rakyat Merdeka, dan koran lainnya menjadi pelajaran yang berharga bagi masyarakat pers dan penyiaran. Banyak orang bahkan para penegak hukum yang ebih memilih peraturan perundangan di luar UU no.40/1999 tentang Pers, dari pada menggunanakn uu Pers itu sendiri, dalam menyelesaikan masalah pemberitaan.


















BAB VII
PENUTUP

A. Kesimpulan
     Kebebasan pers yang sedang kita nikmati sekarang memunculkan hal-hal yang sebelumnya tidak diperkirakan. Suara-suara dari pihak pemerintah misalnya, telah menanggapinya dengan bahasanya yana khas; kebebasana pers di ndoesia telah kebablasan! Sementara dari pihak asyarakat, muncul pula reaksi yang lebih konkert bersifat fisik.
      Barangakali, kebebasana pers di Indonesia telah mengahsilkan berbagai ekses. Dan hal itu makin menggejala tampaknya arena iklim ebebasan tersebut tidak dengan sigap diiringi dengan kelengakapan hukumnya. Bahwa kebebasan pers akan memunculkan kebabasan, itu sebenarnya merupakan sebuah konsekuensi yan wajar. Yang kemudan harus diantisipasi adalah bagaimana agar kebablasan tersbeut tidak kemudian diterima sebagai kewajaran.

B. Saran.
    Peningkatan Kualitas Pers.
    Bersamaan dengan peningkatan perlindungan terhadap kemerdekaan pers, lembaga pers harus selalu menyempurnakan kinerjannya sehingga mampu menyampaikan informasi yang akurat, tepat, cepat, dan murah kepada seluruh masyarakat.
    Sudah saatnya lembaga pers terus menyempurnakan diri dalam menyampaikan informasi, dengan selalu melakukan penelitian ulang sebelum menyiarkannya, melakukan peliputan berimbang terutama untuk berita-berita konflik agar masyarakat memperoleh informasi lebih lengkap untuk turut menilai masalah yang sedang terjadi.
     Penyempurnaan kualitas pers merupakan kerja keras yang dilakukan hari demi hari untuk kepentingan masyarakat.
         Pendidikan melek media mengembalikan titik berat upaya pembedayaan sepenuhnya ada di diri si khalayak media (pembaca, pendenganr dan pemiras). Orang-orang yang melek media (Media Literari People) jelas akan saenantiasa jeli dan kritis terhadap media.
     Program Media Literacy dimaksudkan mendidik kahlayak suapaya senantiasa bersiakp kritisa terhadap infrmasi apapun yang ai teriam dari media. Media Litercy juga menanankan pentingnya kebiasaan untuk bersikap selektif atassetiap mata acara yang akan ditonton atau setiap berita yang akan dibaca. Sebab oarang-rang yang krang terdidik dalam memahami medialah yang lebih rentan bagi bentuk bentuk manipulasi yang halus.
      Paling tidak ada lima unsur yang fundamental dalam pendidikan media literacy. Yakni, kesadaran terhadap dampak media; pamahaman terhadap proses komunikasi massa; strategis untuk menganalisis dan mendiskusikan pesan-pesan media; pemahaman terhadap isi media sebagai tekad yang menyajikan pandangan bagi kehidupan dan budaya kita; dan kesanggupan untuk menikmati, memahami dan mengapresiasi isi media.
DAFTAR PUSTAKA

Effendy, Onong Uchjana. 1993. Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. Cetakan Pertama. Bandung: Citra Aidya Bakti.
Hamzah, A, I Wayan Suandra dan BA Manalu. 1987. Delik-Delik Pers di Indonesia. Cetakan Pertama. Jakarta: Media Sarana Pers.
Oetama, Jakob. 1987 Perspektif Pers di Indonesia. Cetakan Pertama. Jakarat:LP3ES.
Sumadiria, As Haris. 2005. Jurnalistik Indonesia. Bandung. Simbiosa Rekatama Media.
Sudibyo, Agus dkk. Kabar-Kabar Kebencian.Jakarta: Insistut Studi Arus Informasi.2001
Koran HU Pikiran Rakyat, Edisi Sabtu, 9 Febuari 2002.
_____________________, Edisi Rabu 8 Mei 2002.
_____________________, Edisi Selasa, 7 Mei 2002.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar