Halaman

Jumat, 26 Februari 2010

makalah : kaidah fiqhiyah

BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang Masalah
Qaidah adalah landasan dan pedoman, asas dan titik tolak pelaksanaan hukum Islam. Yang dimaksud dengan Qaidah Fiqhiah adalah pedoman umum dan universal bagi pelaksanaan hukum Islam yang mencakup seluruh bagiannya.
Titik tolak pelaksanaan hukum Islam diatur oleh kaidah-kaidah yang bersifat universal yang merupakan stasiun keberangkatan suatu perbuatan. Sebagaimana ada kaidah yang menyatakan bahwa keyakinan tidak terkalahkan oleh keraguan, setiap perbuatan harus dilandasi oleh keyakinan, bukan oleh keraguan.

B.       Rumusan Masalah  
Berdasarkan latar belakang diatas, saya merumuskan beberapa masalah yaitu:
1.    Apa definisi Qaidah Fiqih?
2.    Apa macam-macam Qaidah Fiqih?


C.      Tujuan pembahasan
Berdasarkan rumusan diatas, maka tujuan saya dari penulisan makalah ini adalah:
1. Mengetahui definisi Qaidah Fiqih
2. Mengetahui macam-macam Qaidah Fiqih











BAB II
PEMBAHASAN


A. Pengertian Qaidah Fiqhiyah
Qaidah adalah landasan, pedoman, asas, dan titik tolak pelaksanaan hukum Islam. Yang dimaksud dengan qaidah fiqhiyah adalah pedoman umum dan universal bagi pelaksanaan hukum Islam yang mencakup seluruh bagiannya.
Titik tolak pelaksanaan hukum Islam diatur oleh kaidah-kaidah yang bersifat universal yang merupakan stasiun keberangkatan suatu perbuatan. Sebagaimana ada kaidah yang menyatakan bahwa keyakinan tidak terkalahkan oleh keraguan, setiap perbuatan harus dilandasi oleh keyakinan, bukan oleh keraguan.

B. Macam-macam Qaidah Fiqhiyah
Ada lima qaidah fiqhiyah yang disebut juga sebagai pancakaidah.
Kaidah-kaidah tersebut adalah sebagai berikut .
1.         الأموربمقاصده (segala urusan bergantung pada tujuannya)
2.         الضرريزال(Kemadharatan harus dihilangkan)
3.        العادة محكمة(Kebiasaan dapat menjadi hukum);
4.       اليقين لايزول - أولايزالباشك (Keyakinan tidak dapat hilang karena adanya keraguan dalam bahasa Al-Qur’an, ilaraiba fih hudan li al-muttaqien (Al-baqarah ayat 2)
5.       المشقة تجلب البيسير (Kesukaran mendatangkan kemudahan) (Hasbi Ash-Shidieqie, Fathurahman dan Mukhtar Yahya, Imam Musbikin, Adib Bisri, Juhaya S. Praja, Mushlish Usman, dan Yahya Harun adalah para penulis buku yang membahas qaidah fiqhiyah. Isi buku mereka tidak ada perbedaan substansial. Kaidahnya tetap berjumlah lima. Hanya saja, peletakkannya yagn berbeda. Hasbi Ash-Shidieqie (1993 : 436) meletakkan sistematika qaidah fihhiyah sebagaimana yang saya uraikan di atas).
                                                                        
        

Kaidah-kaidah yang berkaitan dengan kondisi kesulitan mendatangkan kemudahan adalah

Artinya :
“Kemadharatan membolehkan yang terlarang”

Artinya :
“Tidak ada yang haram ketika darurat, dan tidak ada yang makruh kalau terdesak kebutuhan”.

Artinya :
“Apa yang diperbolehkan karena darurat, diukur menurut kadar kemadharatanya.”

Artinya :
Kemudahan itu tidak dapat digugurkan dengan kesulitan”

Artinya :
“Keterpaksaan itu tidak dapat membatalkan hak orang lain”

Artinya :
“Kebutuhan umum atau khusus dalam menduduki tempatnya darurat”.

Artinya :
“Kemadharatan itu tidak dapat dihilangkan oleh kemadharatan yang lain.”

Artinya :
“Apabila dua mafsadah bertentangan, perhatikan mana yang lebih besar madaratnya dengan memilih yang lebih ringan mudharatnya.”

C.   Lafazh dan Dilalahnya
1.      Kalimat umum dan khsuus (‘Am dan Khas)
Kalimat umum atau ‘am, yaitu kalimat yang digunakan untuk mencakup seluruh bagiannya. Hanafi mengartikan ‘am, sebagai lafazh yang digunakan untuk menunjukkan sesuatu makna yang dapat terwujud pada satuan-satuan yang anyak dengna jumlah yang tidak terbatas.
Kalimat-kalimat yang tergolong memiliki makna yang umum ada tujuh, yaitu sebagai berikut :
1.    Isim Istifham, yang digunakan untuk bertanya, seperti kata man, ma, dan ayyun. Contohnya dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 245 dengan kata man :
Artinya
“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), Maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.  (Q.S. Al-Baqarah : 245)
2. Isim syarat : seperti digunakan kata man (barang siapa) ma (apa saja) dan ayyun (yang mana saja)
     Contoh man daam surat An-Nisa ayat 123 :

Artinya :
Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu “

            Contoh yang menggunakan kata ma dalam surat Al-Baqarah 272 :
Artinya:
“Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), Maka pahalanya itu untuk kamu sendiri. dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari keridhaan Allah. dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu sedikitpun tidak akan dianiaya (dirugikan).
(Q.A Al-Baqarah: 272)

       3. Lafazh kullun, jami’un, ma’syar, kaffah (artinya seluruhnya). Masing-masing lafazh melingkupi bagian-bagiannya atau meliputi mudhaf ilaih dari lafazh-lafazh tersebut.
            Misalnya dalam surat Ath-Thur ayat 21 yang menggunakan kata kullu:

Artinya
“Semua manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.”
(Q.S Ath-Thur :21)

4. Isim Mufrad yang dima’rifahkan oleh alif lam, misalnya dalam surat AL-Ma’idah ayat 38 :


Artinya :
“laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya “
(Q.S Al-Ma’idah : 38)

5. Jama’ yang dima’rifatkan oleh alif lam atau dengan idhafah, misalnya dalam surat Al-Baqarah ayat 228:
Artinya :
“wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru' “ (Q.S Al-Baqarah : 228)

6.    Isim nakirah dalam susunan nafi (inkar), contoh dalam hadis riwayat Ahmad dan Ibnu Majah:
لاَيُقَاسُ وَالِدُبِوَلَدِهِ
Artinya:
“Orang tua tidak boleh diqishaas karena anaknya.”

7.    Isim maushul, seperti alladina dalam surat An-Nur ayat 4:
Artinya :
Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik. (Q.S An-Nur : 4)


Ada beberapa lafazh yang bukan yang termasuk lafazh umum, sebagaimana dikemukakan oleh Hanafi, yaitu :
1.    Lafazh nakirah, seperti yang rajulun, hanya menunjuk pada seseorang, bukan umum
2.    Lafazh tatsniyah da jama’, seperti kata rajulani dan rajulun. Kata itu menunjuk kepada dua oran gatau dua saja, tida dan tidak berlebih.
3.    Lafazh ‘adad, yang menunjukkan bilangan;
4.    Menunjukkan kepada umum, musytarak tidak meliputi sesuatu yang umum, melainkan banyak, belum tentu yan gjumlahnya banyak itu bermakna umum;
5.    Lafazh yang artinya majazi;
6.    Lafazh mutlak, lafazh yang tidak dibatasi oleh suatu sifat tertentu.

D. Dilalah Al-Amr
Al-amr artinya perintah atau tuntutan perbuatan dari orang yang lebih tinggi tingkatannya kepada orang yang lebih rendah tingkatannya, seperti dari atasan kepada bawahan (thdlab al-fi 'li min 'ala ila al-adna).
Dari definisi tersebut dapat ditarik ciri penting dari perintah atau amr, yaitu:
1.         Subjek atau orang yang memerintah adalah orang yang tingkatannya
lebih tinggi, sedangkan yang dimaksud dalam uraian ini adalah Allah sebagai Dzat yang Mahatinggi dan Mahakuasa. Oleh karena itu, Dia berhak memerintah seluruh makhluk-Nya, terutama manusia yang telah baligh dan berakal;
2.         Ada materi tertentu yang menjadi sasaran objek perintahnya,
misalnya memerintah shalat. Jadi, materi perintahnya adalah shalat.
Ada kalimat perintah yang menggunakan kata kerja perintah dan ada pula yang menggunakan selain kata kerja perintah. Bahkan, ada yang menggunakan kalimat majazi, tetapi semuanya dimaknakan sebagai perintah.
Kalimat perintah yang terdapat dalam Al-Quran atau As-Sunnah memiliki makna-makna tertentu. Menurut Abi Al-Hasan 'AH Al-Amidi, kata perintah memiliki 15 makna. Ada pula yang mengatakan bahwa kata perintah amr memiliki 26 makna, seperti Al-Mahalli dalam Syarh 'ala Main Jam 'u a!-jawami-nya.

E.   Kaidah-Kaidah Lain dari Al-Amr
       1.    Perintah tidak perlu diulang-ulang
Artinya :
Asal dari perintah tidka perlu diulang-ulang.
       2.    Perintah perlu diulang-ulang
Artinya:
“Asal dari perintah menghendaki diulang-ulang perbuatan (yang diminta) sepanjang selama hidup masih ada kesanggupan.”
       3.    Perintah tidak berlaku sesegera mungkin
Artinya :
“Asal dari perintah tidak menghendaki kesegeraan”.
       4.    Perintah menghendaki kesegeraan
Artinya:
“Asal dari perintah menghendaki kesegeraan.”
       5.    Objek Perintah dan medianya
Artinya:
“Perintah terhadap sesuatu berarti perintah atas perantara-perantara.”
Seperti perintah agar menaiki atap rumah adalah juga perintah menggunakan tangga atau alat lainnya.
       6.    Perintah Al-Qadha dengan amr yang baru
Artinya:
‘Qadha harus dengan perintah yang baru”
Yang dimaksud dengan qadha adalah perintah baru dalam pekerjaan  yang sama, tetapi waktunya telah habis. Jadi, jika waktunya telah habis dan hendak diperintah lagi untuk mengerjakan kembali, harus menggunakan perintah yang baru.
Umpamanya, batal puasa karena bepergian maka perintah meng-qadha-nya. merupakan perintah yang baru, sebagaimana perempuan yang , haid ketika Ramadhan maka perintah agar meng-qadha-nya pada hari lain adalah dengan hadis yang merupakan perintah baru.
       7.    Qadha dengan perintah pertama
Artinya :
“Qadha dengan perintah pertama”
            Perintah baru atas objek yang sama disebabkan kehabisan waktu maka perintahnya bisa dengan perintah yang pertama. Jadi, tidak perlu dengan perintah yang baru. Contoh konkretnya adalah ketika waktu shalat telah berlalu, bukan berarti harus meninggalkan shalat, tetapi shalat harus tetap dilakukan kapan pun waktunya, karena perintah shalat tidak gugur disebabkan waktunya telah lewat. Terlewatnya waktu karena tertidurmisalnya.
       8.    Perintah Setelah larangan
Artinya:
“Perintah setelah larangan menunjukkan kebolehan”
Misalnya, perempuan yang sedang haid dilarang berpuasa atau melaksanakan shalat. Ketika haidya telah beralalu dan ia dalam keadaan suci, ia diwajibkan melaksanakan shalat dan puasa.

F. An-Nahyu Dan Dilalahnya
Nahyun artinya larangan, menurut istilah hukum Islam, nahyun ialah tuntutan untuk meninggalkan perbuatan dari orang yang lebih tinggi tingkatannya kepada orang yang lebih rendah tingkatannya.
Bentuk nahyun ada satu, yaitu fill mudhari disertai la nahyi. Macam-macam nahyu adalah sebagai berikut.
1.      Nahyun menunjukkan haram
Artinya :
“Asal dari larangan itu haram

2.      Larangan berarti makruh
Artinya:
“Asal dari larangan itu makruh”

G. Masa Berlakunya Larangan
Larangan ada dua jenis, yaitu larangan yang mutlak dan larangan yang muqayyad. Larangan yang mutlak berlaku selamanya, sedangkan yang muqayyad bersifat temporer. Dalam kaidah ushul fiqh ditegaskan sebagai berikut:
Artinya:
“Asal dari larangan yang mutlak menghendaki ditinggalkannya perbuatan (yang dilarang) untuk selamanya”
Misalnya, Allah SWT melarang orang membunuh, dalam surat Al-Isra’ ayat 33 :

Artinya:
”Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. dan Barangsiapa dibunuh secara zalim, Maka Sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan. (Q.S Al-Isra : 33)


H. Muthlaq Dan Muqayyad
Muthlaq artinya makna yang sebenarnya, atau suatu lafazh yang menunjukkan hakikat sesuatu tanpa ada yang membatasinya sehingga tujuan dari maknanya menjadi sempit. Dengan kata lain, muthlaq adalah memahami lafazh sesuai dengan makna tekstualnya yang tidak terdapat pembatasan makna di dalamnya. Misalnya terdapat firman Allah dalam surat Al-Mujadilah ayat 3:

Artinya :
“Maka merdekakanlah hamba sahaya”
Makna dari hamba sahaya tersebut adalah mutlak hamba sahaya, tidak ada kata lain yang menyifatinya, misalnya hamba sahaya yang kulitnya hitam atau yang rambutnya keriting.
Muqayyad adalah kata yang menunjukkan hakikat sesuatu yang dipersempit atau dibatasi oleh pembatasan tertentu.
Hukum bagi yang mutlak dan yang muqayyad adalah sebagai berikut :
1.      Hukumnya sama, yaitu yang mutlaq dibawa kepada yang muqayyad, misalnya yang muthlaq terdapat dalam surat Al-Maidah ayat 3:
Artinya :
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, “
2.      Berbeda hukum dan sebabnya (kebalikan nomor 1). Di dalam hal ini masing-masing muthlaq dan muqayyad tetap pada tempatnya seniri. Muqayyad tidka menjadi penjelasan bagi muthlaq. Jadi berlaku maisng-masing, seperti sanksi hukum bagi pezina mutlak bagi pezina, demikian pula sanksi hukum bagi pencuri, hanya mutlak bagi pencuri
3.      Berbeda hukum, tetapi sebabnya sama.
Misalnya yang muthlaq tentang tayamum, bahwa tayamum ialah menyapu debu satu kali dan mengusapkan ke muka dan kedua tangna, sedangkan yang muqayyad berkaitan dengan surat Al-Maidah ayat 6 :
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan sikut”
(Q.S Al-Maidah : 6)

I. Mujmal Dan Mubayyan
Mubayyan ialah suatu perkataan yang jelas maksudnya tanpa memerlukan penjelasan dari lainnya. Kejelasan tersebut adakalanya dari:
1.     Manthuq-nya, yaitu:
a.     nashnya
b.     zhahir
c.     lafazh umum
2.     Mqfhum-nya, baik dalam:
a.      fahwal khitab
b.      lahnul khitab
c.      dalilul khitab
Mujmal ialah suatu perkataan yang belum jelas maksudnya dan untuk mengetahuinya diperlukan penjelasan dari lainnya. Penjelasan ini disebut al-bayan. Dalam arti lain, kandungan maknanya masih global dan memerlukan perincian. Ketidakjelasan tersebut disebut ijmal.
Ijmal bisa terjadi dalam kata-kata tunggal atau jumlah kalimat, yaitu susunan kata-kata atau tarkib.
Dalam kata-kata tunggal, ijmal disebabkan oleh:
§  Tasrif kata-kata atau pengambilannya, seperti qaala dari qaulun (perkataan) atau qailulah (tidur siang).
§  Satu lafazh untuk menunjukkan beberapa arti (musytarak).
§  Lafazh yang digunakan untuk menunjukkan istilah syara' yang tertentu, seperti lafazh, shalat, zakat, puasa, dan Iain-lain.
Contoh ijmal:
Dalam kata-kata tunggal atau mufrad:
·         Dalam isim: kata qur'un dengan pengertian suci atau datang bulan.
·         Kata faun dengan pengertian hitam atau putih.
·         Kata naahil dengan pengertian dahaga atau segar.
Dalam fiil, seperti kata qaala dengan pengertian berkata atau tidur siang; kata khataba dengan pengertian berpidato atau meminang; kata 'as 'asa dengan pengertian menghadap atau membelakangi.
Dalam huruf, misalnya huruf -wow yang menunjukkan huruf ataf (penghubung) atau huruf isti'naf (menunjukkan permulaan kata), atau sebagai hal. Huruf ilaa, yang menunjukkan ghayah atau berarti beserta (ma 'a).

J. Pengertian Muradif Dan Musytarak
Muradifialah lafazhnya banyak, sedangkan artinya sama (sinonim), seperti lafazh asad dan allaits (artinya singa), hinthah dan qamhmum (artinya gandum),
Musytarak ialah satu lafazh mempunyai dua arti yang sebenarnya dan arti^arti tersebut berbeda-beda, seperti lafazh jaun yang artinya putih atau hitam. Apabila arti yang sebenarnya hanya satu dan yang lain arti majazi, tidak dikatakan musytarak.20
Adanya lafazh dengan makna yang musytarak disebabkan oleh berbagai hal, di antaranya ialah:
1.                    Karena bangsa Arab terbagi atas berbagai suku, misalnya ada suku Adnan, suku Qathan, dan suku Quraisy. Masing-masing suku berpencar-pencar dalam beberapa tempat dan lingkungan. Kadang- kadang, suatu suku memaknakan lafazh tertentu menurut kesepakatan suku bersangkutan, sedangkan suku lainnya berbeda dalam memaknakan hal yang sama. Meskipun demikian, semua makna menunjukkan makna hakiki.
2.         Antara kedua pengertian terdapat arti dasar yang sama. Oleh karena itu, satu lafazh bisa digunakan untuk kedua pengertian tersebut, yang disebut isytirak ma’aw/(persekuttian batin). Kadang-kadang, orang melupakan arti yang dapat mengumpulkan kedua pengertian tersebut, dan menduga hanya isytiraklafzhi (persekutuan lafazh). Sebagaimana lafazh qur 'un yang arti semula ialah waktu tertentu. Oleh karena itu, malaria disebut qur 'un karena mempunyai waktu yang tertentu. Perempuan dikatakan mempunyai qur 'un sebab ia datang bulan pada waktu tertentu dan waktu suci tertentu. Arti dasar yang
menghubungkan berbagai pengertian qur'un ialah waktu yang tertentu (isytirak ma 'naw'i). Akan tetapi, arti yang menghubungkan ini kemudian dilupakan, sehingga tidak dikenal hubungannya suci dan datang bulan dan dinamakannya isytirak lafzhi.
Mula-mula suatu lafazh digunakan untuk suatu arti, kemudian
berpindah pada arti yang lain dengan jalan majaz, karena adanya
falaqah (hubungannya).  'Alaqah ini dilupakan dan kemudian hilang maka kata teresebud diduga digunakan untuk kedua arti yang sebenarnya tanpa mengetahui adanya ‘alaqah tersebut.









BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Hukum Fiqih meliputi berbagai peraturan dalam kehidupan yang menyangkut hubungan manusia dengan Khaliknya dan  hubungan  manusia dengan sesama manusia serta hubungan manusia dengan dengan makhluk-makhluknya yang lain, yang pelaksanaannya berkaitan dengan situasi dan kondisi tertentu.
“Qowa’idul fiqhiyah” atau kaidah-kaidah ilmu Fiqih, yaitu kaidah-kaidah yang bersifat umum dalam mengelompokkan suatu masalah secara terperinci menjadi beberapa kelompok agar mudah mengistimbatkan (menyimpulkan) hukumnya dengan cara menggolongkan masalah-masalah.




















DAFTAR PUSTAKA


Abdul Hamid Hakim, 1983. Al-Bayan, Sa’adiyah Putra. Jakarta
Abdul Wahab Khalaf, 1989. Ilmu Ushul Fiqh. Muasasah Tsaqafah Al-Jami’ah, Iskandariyah.
Abdul Halim Uways, 1998. Fiqh Statis-Dinamis. Pustaka Hidayah, Bandung.
Abdul Madjid Abd As-Salam Al-Mhtasib, 1973. Ittijah At-Tafsir fi Ashr Al-Hadits, Dar Al-Fikr, Beirut.
Saebani, Beni Ahmad. 2008. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung : Pustaka Setia




Tidak ada komentar:

Posting Komentar