Halaman

Selasa, 23 Februari 2010

makalah : Sumber-Sumber Hukum Islam

 
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Dalam pemikiran kaum orientalis awal, Al-Qur’an dipahami seperti halnya buku-buku bacaan lainnya. Bidang studi Al-Qur’an merupakan lapangan kajian keislaman modern yang menonjol. Para orientalis melakukan kajian-kajian kritis terhadap teks suci Al-Qur’an yang menyangkut bentuk, susunan ayat-ayat, sejarah penyusunan variasi bacaan dan hubungannya dengan literatur-literatur terdahulu.
Secara langsung dan tidak langsung, adalah dari sumber ajaran Al-Qur’an dan Al-Hadis, tentang orientalis hadis sebagai ucapan Mahammad. Mereka menggunakan literatur-literatur Arab klasik sebagai sumber-sumber pembuktiannya. Inilah isi otentitas Hadis menurut pandangan para orientalis. Selain itu juga syariat Islam yang disampaikan dalam Al-Qur’an dan Al-Sunah secara komperensif, memerlukan penelitian dan pengkajian ilmiah yang sungguh-sungguh serta berkesinambungan, makanya diperlukan juga adanya ijtihad.


B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, kami merumuskan beberapa masalah, yaitu:
1. Apa pengertian Al-Qur’an ?
2. Apa pengertian al-sunah ?
3. Apa pengertian ijtihad ?


C. Tujuan Pembahasan
Berdasarkan Rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan makalah ini adalah:
1.        Menjelaskan Pengertian Al-Qur’an
2.        Menjelaskan Pengertian Al-Sunah
3.        Menjelaskan Pengertian Ijtihad


BAB II
SUMBER AJARAN ISLAM


A. Al-Qur’an Sebagai Sumber Hukum
  1. Pengertian Al-Qur’an
Menurut sebagian besar ulama, kata Al-Qur’an berdasarkan segi bahasa merupakan bentuk mashdar dari kata qara’a, yang bisa dimasukkan pada wajan fu’lan, yang berarti bacaan atau apa yang tertulis padanya, maqru’, seperti terdapat dalam surat Al-Qiyamah (75) : 17-18:
Artinya:
¨bÎ) $uZøŠn=tã ¼çmyè÷Hsd ¼çmtR#uäöè%ur #sŒÎ*sù çm»tRù&ts% ôìÎ7¨?$$sù ¼çmtR#uäöè% ÇÊÑÈ  
“Sesungguhnya atas tanggungan Kami-lah mengumpulkannya (didadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya, maka ikutilah bacaannya itu.”
(QS. Al-Qiyamah : 17-18)
Adapun definisi Al-Qur’an secara terminologi, menurut sebagian besar ulama Ushul Fiqih adalah sebagai berikut:
Artinya:
كَلاَمُ اللهِ تَعَالى اَلْمَنَزَّلُ عَلَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِاللَّفْظِ الْعَرَبِيِّ اَلْمَنْقُولُ اِلَيْنَا بِالتَّوَاتُرِ اَلْمَكْتُوْبُ بِالْمَصَاحِفِ الْمَتَعَبَّدُ بِتَلاَوَتِهِ اَلْمَبْدُوْءُ بِالْفَاتِحَةِ وَالْمَخْتُوْمُ بِسُوْرَةِ النَّاسِ
“Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. dalam bahasa Arab yang dinukilkan kepada generasi sesudahnya secara mutawatir, membacanya merupakan ibadah, tertulis dalam mushaf; dimulai dari surat Al-Fatihah dan ditutup dengan surat An-Nas.”
  1. Al-Qur’an [1]
Enam abad setelah Nabi Isa, Al-Qur’an sebagai wahyu terakhir banyak menyebutkan Bibel Ibrani serta Injil. Al-Qur’an sering menyebut Torah[2], dan Injil. Al-Qur’an mewajibkan kepada semua Muslim untuk percaya kepada kitab-kitab sebelumnya (QS. 4:136). Al-Qur’an menonjolkan kedudukan tinggi para Rasul dalam sejarah wahyu, seperti Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Musa, dan para Nabi Bani Isra’il, dan juga kepada Nabi Isa (Yesus) yang mempunyai kedudukan istimewa diantara mereka. Kelahiran Yesus telah dilukiskan dalam Al-Qur’an sebagai suatu kejadian ajaib (supranatural) seperti juga dilukiskan dalam Injil. Al-Qur’an menyebutkan Maryam secara istimewa. Bukankah Surat 19 dalam Al-Qur’an bernama Surat Maryam.
Paparan di atas menunjukkan keyakinan kaum Muslim. Namun demikian, di kalangan sarjana Barat-pengkaji Islam orientalis kolonialistik seperti Richard Bell-menganggap Al-Qur’an sebagai karya Muhammad. Hal ini diungkapkan oleh w. Montgomery watt:
“Bell mengikuti jejak sarjana Eropa pendahulunya dalam mengemukakan bahwa Al-Qur’an merupakan buah karya Muhammad, setidak-tidaknya dalam Introduction-nya. Namun, berbagai pernyataan yang dikemukakannya kepada saya membuat saya berpikir bahwa ia pasti akan sangat bersimpati terhadap pandangan-pandangan yang telah saya ungkapkan mengenai kerasulan Nabi Muhammad dalam karya terbaru saya, Islamic Revelation in the Modern World.[3]
Dalam pandangan Watt, dengan semakin berkembangnya hubungan antara kaum Muslimin dengan orang-orang Kristen selama kuartal terakhir abad ini (abad 20, pen), telah menjadi keharusan bagi seorang sarjana Kristen untuk tidak menyinggung perasaan para pembaca Muslim secara serampangan; sebaliknya, sarjana Kristen tersebut harus berupaya semampunya untuk menampilkan argumentasi-argumentasi dalam suatu bentuk yang dapat diterima kaum Muslimin. Tentu saja, kesopanan dan pandangan yang bersahabat sekarang ini menuntut bahwa kita seharusnya tidak membicarakan Al-Qur’an sebagai kreasi pikiran sadar Muhammad; bahkan Watt juga berpendapat bahwa kesarjanaan yang sehat pun menuntut hal senada. Karena itu, Watt telah mengubah atau menghapus seluruh ungkapan yang menyiratkan bahwa Muhammad adalah pengarang Al-Qur’an, termasuk ungkapan-ungkapan yang berbicara tentang “sumber-sumbernya” atau pengaruh-pengaruh terhadapnya.
Wawasan pemikiran Watt menyiratkan kesadaran dalam beragama, di samping menghargai pandangan dan keyakinan kaum Muslimin pada aspek-aspek prinsip, tetapi ia bukan berarti tidak melakukan kritik pada aspek-aspek lainnya yang seharusnya diberikan kritik. Diakuinya, ia yakin bahwa kita (pengkaji Islam) dibenarkan berbicara tentang “pengaruh-pengaruh” dunia luar terhadap lingkungan orang-orang Arab; dan juga kita dibenarkan mengamati suatu “perkembangan” dalam pandangan kaum Muslimin; serta perkembangan semacam itu harus dipenuhi melalui suatu perubahan penekanan dalam wahyu.
Maurice Bucaille, seorang dokter Perancis yang ahli bahasa Arab menyatakan bahwa “hal-hal yang mengenai Islam pada umumnya tak diketahui orang di negeri-negeri Barat”. Lanjut Bucaille, hal ini tidak mengherankan jika kita mengingat bagaimana generasi demi generasi diberi pelajaran agama dan bagaimana selama itu mereka dikungkung dalam ketidaktahuan mengenai islam. Pemakaian kata-kata “religion Mahometane” (Mohammedanism) dan “Mahometans” (Mohamedans) sampai sekarang masih sering dipakai, untuk memelihara suatu anggapan yang salah, yakni bahwa Islam adalah kepercayaan yang disiarkan oleh seorang manusia, dan dalam Islam itu, tak ada tempat bagi Tuhan (sebagaimana yang dipahami oleh kaum Masehi). Banyak kaum terpelajar zaman sekarang yang tertarik oleh aspek-aspek Islam yang mengenai filsafat, kemasyarakatan atau ketatanegaraan, tetapi mereka tidak menyelidiki lebih lanjut bagaimana dalam mengetahui aspek-aspek itu, mereka sesungguhnya bersumber kepada wahyu Islam. Biasanya, orang bertitik tolak dari anggapan bahwa Muhammad bersandar kepada wahyu-wahyu yang diterima nabi-nabi sebelum dia sendiri, dengan begitu, mereka ingin mengelak dari mempersoalkan “wahyu”.
Dalam pengalaman Bucaille, orang-orang Islam selalu dianggap remeh oleh golongan tertentu dalam umat Kristen. Ia mempunyai pengalaman dalam hal ini, ketika ia berusaha mengadakan dialog untuk penelitian perbandingan antara teks Bibel dan teks Al-Qur’an mengenai suatu masalah; ia selalu disambut dengan penolakan untuk menyelidiki sesuatu yang mungkin diungkapkan oleh Al-Qur’an tentang hal tersebut. Hal seperti ini seakan-akan berarti menganggap bahwa Al-Qur’an itu ada hubungannya dengan syaitan.
Dalam pemikiran kaum orientalis awal, Al-Qur’an dipahami seperti halnya buku-buku bacaan lainnya. Bidang studi Al-Qur’an merupakan lapangan kajian keislaman modern yang menonjol. Para orientalis melakukan kajian kritis terhadap teks suci Al-Qur’an, yang menyangkut bentuk, susunan ayat-ayat, sejarah penyusunan, variasi bacaan, dan hubungannya dengan literatur-literatur terdahulu. Theodore noldeke terkenal sebagai sarjana barat modern yang mengkaji aspek-aspek Al-Qur’an ini dengan menulis geschiche des koran (1906). Sarjana lain yang mengikuti tradisi noldeke adalah richard bell yang menulis introduction to quran (1953), memberi perhatian khusus pada masalah urut-urutan surat dalam Al-Qur’an.
Dalam kajian Al-Qur’an, sarjana-sarjana barat mengakui sumbangan penting karya izutsu the structure of the ethical terms in the koran (1959) yang kemudian muncul dalam edisi revisi ethico-religious concepts in the quran (1966) dan karya lainnya god and man in the koran. Analisis semantik digunakannya dengan cukup canggih untuk memperoleh pengertian yang mendalam tentang beberapa konsep kunci Al-Qur’an. Juga cukup penting dalam kajian Al-Qur’an adalah usaha rudi paret pada tahun 1971 yang memberi perhatian pada masalah penafsiran Al-Qur’an. Di samping menerjemahkan Al-Qur’an ke dalam bahasa jerman, ia juga menulis de koran, kommentar und konkordanze, yang mungkin merupakan karya tafsir tahlili pertama dalam bahasa eropa.
Diakui bahwa sebelum muncul karya-karya tafsir ala barat, kajian Al-Qur’an lebih memfokuskan pada masalah-masalah yang berkaitan dengan otentisitas Al-Qur’an sebagai sebuah teks suci. Tujuan kajian seperti ini tidak lain adalah menunjukkan aspek pinjaman atau keterpengaruhan Al-Qur’an dari kitab-kitab suci yahudi dan kristen. Konsentrasi yang berlebihan pada usaha seperti ini juga mengakibatkan kurangnya perhatian pada kajian tentang penafsiran-penafsiran sarjana muslim terhadap Al-Qur’an. Kajian terhadap kitab-kitab tafsir ini, karya goldziher, die richtungen der islamischen koranauslegung (1952), dianggap penting meskipun perhatiannya terbatas pada kitab-kitab tafsir klasik. Para orientalis seperti jms baljon dan j.jomier baru melengkapi kajian goldziher itu sekitar sepuluh tahun kemudian dengan mengangkat kitab-kitab tafsir modern. Menyusul kajian mereka adalah karya jj. Jansen, the interpretation of the quran in modern egypt (1974). Pemikiran para sarjana orientalis ini lebih menekankan pada pendekatan kritis terhadap aspek-aspek kandungan Al-Qur’an yang oleh umat muslim dipandang transendental, namun mereka juga berusaha melihat aspek lain yang dipandang profan.
Para orientalis awal pengkaji Al-Qur’an sesungguhnya masih didasari pada salah sangka atas islam sebagai agama wahyu, sehingga dalam kajian tafsirnya kadangkala masih ditemukan komentar-komentar yang miring tentang hal-hal yang berkaitan dengan islam. Bahkan, terkesan pembahasan mereka lebih banyak mem-blow up hal-hal yang bersifat kasuistis dalam sejarah islam untuk dijadikan pandangan yang tendensius kepada kelemahan islam.

B.   SUNAH
  1. Pengertian Sunah
arti sunah dari segi bahasa adalah jalan yang biasa dilalui atau suatu cara yang senantiasa dilakukan, tanpa mempermasalahkan, apakah cara tersebut baik atau buruk. Arti tersebut bisa ditemukan dalam sabda rasulullah saw, yang berbunyi:
مَنْ سَنَّ فِى اْلاِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهُ وَاَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ



Artinya:
“barang siapa yang membiasakan sesuatu yang baik di dalam islam, maka ia menerima pahalanya dan pahala orang-orang sesudahnya yang mengamalkannya.”[5]
(h.r. muslim) (al-khatib: 17)
Secara terminologi, pengertian sunah bisa dilihat dari tiga disiplin ilmu;
  1. ilmu hadis, para ahli hadis mengidentikkan sunah dengan hadis, yaitu segala  sesuatu yang disandarkan kepada nabi muhammad saw., baik perkataan, perbuatan, maupun ketetapannya.
  2. ilmu ushul fiqh, menurut ulama ahli ushul fiqh, sudah adalah segala yang diriwayatkan dari nabi saw. Berupa  perbuatan, perkataan, dan ketetapan yang berkaitan dengan hukum.”
  3. ilmu fiqih, pengertian sunah menurut ahli fiqih hampir sama dengan pengertian yang dikemukakan oleh para ahli ushul fiqh. Akan tetapi, istilah sunah dalam fiqih juga dimaksudkan sebagai salah satu hukum taklifi, yang berarti suatu perbuatan yang akan mendapatkan pahala bila dikerjakan dan tidak berdosa apabila ditinggalkan.

       2. Dilalah (petunjuk) Sunah
Ditinjau dari segi petunjuknya (dilalah), hadis sama dengan Al-Qur’an, yaitu bisa qath’iah dan bisa zhanniyah dilalah. Demikian juga dari segi tsubut, ada yang qat’I dan ada yang zhanni. Kebanyakan ulama menyepakati pembagian tersebut, namun dalam aplikasinya berbeda-beda.
Dalam kaitannya antara nisbat as-sunah terhadap Al-Qur’an, para ulama telah sepakat bahwa as-sunah berfungsi menjelaskan apa yang terdapat dalam Al-Qur’an dan juga sebagai penguat. Akan tetapi, mereka berbeda pendapat mengenai kedudukan as-sunah  terhadap Al-Qur’an apabila as-sunah itu tidak sejalan dengan zhahir ayat Al-Qur’an.



       3. Kedudukan sunah terhadap Al-Qur’an
          Sunah merupakan sumber kedua setelah Al-Qur’an. Karena sunah merupakan penjelas dari Al-Qur’an, maka yang dijelaskan berkedudukan lebih tinggi daripada yang menjelaskan. Namun demikian, kedudukan sunah terhadap Al-Qur’an sekurang-kurangnya ada tiga hal berikut ini.
3.1 sunah sebagai ta’kid (penguat) Al-Qur’an
       Hukum islam disandarkan kepada dua sumber, yaitu Al-Qur’an dan sunah. Tidak heran kalau banyak sekali sunah yang menerangkan tentang kewajiban shalat, zakat, puasa, larangan musyrik, dan lain-lain.

3.2 Sunah sebagai penjelas Al-Qur’an
       Sunah adalah penjelas (bayanu tasyri’) sesuai dengan firman allah  surat an-nahl ayat 44:
!$uZø9tRr&ur y7øs9Î) tò2Ïe%!$# tûÎiüt7çFÏ9 Ĩ$¨Z=Ï9 $tB tAÌhçR öNÍköŽs9Î) öNßg¯=yès9ur šcr㍩3xÿtGtƒ  
Artinya:
“telah kami turunkan kitab kepadamu untuk memberikan penjelasan tentang apa-apa yang diturunkan kepada mereka, supaya mereka berfikir.”
(qs. An-nahl : 40)
Diakui bahwa sebagian umat Islam tidak mau menerima sunah, padahal dari mana mereka mengetahui bahwa shalat zhuhur itu empat raka’at, magrib tiga raka’at, dan sebagainya kalau bukan dari sunah.
Maka jelaslah bahwa sunah itu berperan penting dalam menjelaskan maksud-maksud yang terkandung dalam Al-Qur’an, sehingga dapat menghilangkan kekeliruan dalam memahami Al-Qur’an.
Penjelasan sunah terhadap Al-Qur’an dapat dikategorikan menjadi tiga bagian:
1.    Penjelasan terhadap hal yang global, seperti diperintahkannya shalat dalam Al-Qur’an tidak diiringi penjelasan mengenai rukun, syarat dan ketentuan-ketentuan shalat lainnya. Maka hal itu dijelaskan oleh sunah sebagaimana sabda rasulullah saw.:
صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُونِى اُصَلِّى
Artinya:
“shalatlah kamu semua, sebagaimana kamu telah melihat saya shalat.”
2.         Penguat secara mutlaq, sunah merupakan penguat terhadap dalil-dalil umum yang ada dalam Al-Qur’an.
3.         sunah sebagai takhsis terhadap dalil-dalil Al-Qur’an yang masih umum.

C.   PENGERTIAN IJTIHAD
Secara bahasa, ijtihad berasal dari kata jahada. Kata ini beserta seluruh variasinya menunjukkan pekerjaan yang dilakukan lebih dari biasa, sulit dilaksanakan, atau yang tidak disenangi. Kata ini pun berarti kesanggupan (al-wus’), kekuatan (al-thaqah), dan berat (al-masyaqqah) (ahmad bin ahmad bin ‘ali al-muqri al-fayumi, t.th: 112, dan elias a. elias dan ed. E. elias, 1982: 126). Para ulama mengajukan redaksi yang bervariasi dalam mengartikan kata ijtihad secara bahasa. Ahmad bin ahmad bin ali al-muqri al-fayumi (t.th:112) menjelaskan bahwa ijtihad secara bahasa adalah
بَذْلُ وُسْعِهِ وَطَاقَبِهِ فِى طَلَبِهِ لِيَبْلُغُ مَجْهُوْدَهُ وَيَصِلُ اِلَى نِهَايَتِهِ
Pengerahan kesanggupan dan kekuatan (mujtahid) dalam melakukan pencarian suatu supaya sampai kepada ujung yang ditujunya.
Para ulama bersepakat tentang pengertian ijtihad secara bahasa, tetapi berbeda pandangan mengenai pengertiannya secara istilah (terminologi). Pengertian ijtihad secara istilah muncul belakangan, yaitu pada masa tasyri’ dan masa sahabat. Perbedaan ini meliputi hubungan ijtihad dengan fikih, ijtihad dengan Al-Qur’an, ijtihad dengan al-sunah, dan ijtihad dengan dalalah nash. (jalaluddin rakhmat, 1989: 33)   
       Menurut abu zahrah (t.th: 379), secara istilah, arti ijtihad ialah
يَذْلُ الْفَقِيْهِ وُسْعَهُ فِى اسْتِنْبَاطِ الاَحْكَاِم الْعَمَلِيَّةِ مِنْ اَدِلَّتِهَا التَّفْصِيْلِيَّةِ
Upaya seorang ahli fikih dengan kemampuannya dalam mewujudkan hukum-hukum amaliah yang diambil dari dalil-dalil yang rinci.
Definisi ijtihad di atas secara tersirat menunjukkan bahwa ijtihad hanya berlaku pada bidang fikih, bidang hukum yang berkenaan dengan amal; bukan bidang pemikiran. Oleh karena itu, menurut ulama fikih ijtihad tidak terdapat pada ilmu kalam dan tasawuf. Disamping itu, ijtihad berkenaan dengan dalil Zhanni, sedangkan ilmu kalam menggunakan dalil qath’i. hal ini senada dengan pendapat Ibrahim Hosen, yang selanjutnya dikutip oleh jalaluddin rakhmat (1989: 33), yang mengatakan bahwa cakupan ijtihad hanyalah bidang fikih. Selanjutnya, hosen mengatakan, pendapat yang menyatakan bahwa ijtihad secara istilah juga berlaku di bidang akidah atau akhlak, jelas tidak bisa dibenarkan.
          Berbeda dengan Hosen, harun nasution menjelaskan bahwa pengertian ijtihad hanya dalam lapangan fikih adalah ijtihad dalam pengertian sempit. Dalam arti luas, menurutnya, ijtihad juga berlaku dalam bidang politik, akidah, tasawuf, dan filsafat.
          Senada dengan Harun Nasution, Ibrahim Abbas Al-Dzarwi (1983: 9) mendefinisikan ijtihad sebagai
Pengerahan daya dan upaya untuk memperoleh maksud.
Tidak hanya Harun Nasution dan Al-dzarwi, fakHruddin Al-Razy, ibNu Taimiyah dan Muhammad Al-Ruwaih pun tidak membatasi ijtihad pada bidang fikih saja. Menurut Fakhruddin, ijtihad ialah pengerahan kemampuan untuk memikirkan apa saja yang tidak mendatangkan celaan. (jalaluddin rakhmat; 1989; 33)
a.         Dasar-dasar ijtihad    
Adapun yang menjadi dasar hukum ijtihad ialah Al-Qur’an dan al-sunnah. Di antara ayat Al-Qur’an yang menjadi dasar ijtihad adalah sebagai berikut.
Sesungguhnya kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenarannya, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat. (q.s. al-nisa [4]: 105).
Adapun sunnah yang menjadi dasar ijtihad diantaranya hadis ‘amr bin al-‘ash yang diriwayatkan oleh imam bukhari, muslim, dan ahmad yang menyebutkan bahwa nabi muhammad bersabda:
اِذَا حَكَمَ الْحَكِمُ فَاجْتَهَدُفَاَصَابَ فَلَهُ اَجْرَانِ وَاذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ اَخْطَأَ فَلَهُ اَجْرٌ وَاحِدَ
Apabila seorang hakim menetapkan hukum dengan berijtihad, kemudian dia benar maka ia mendapatkan dua pahala. Akan tetapi, jika ia menetapkan hukum dalam ijtihad itu salah maka ia mendapatkan satu pahala. (muslim, ii, t.th: 62)
  1. Syarat-syarat muJtahid     
Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid. Mujtahid ialah orang yang mampu melakukan ijtihad melalui cara istinbath (mengeluarkan hukum dari sumber hukum syariat) dan tathbiq (penerapan hukum). Sebelum dikemukakan beberapa pendapat ulama mengenai syarat-syarat mujtahid, ada baiknya dijelaskan dulu mengenai rukun ijtihad , yaitu sebagai berikut.
1.         Al-waqi’, yaitu adanya kasus yang terjadi atau diduga akan terjadi yang tidak diterangkan oleh nas.
2.         Mujtahid, ialah orang yang melakukan ijtihad yang mempunyai kemampuan untuk berijtihad dengan syarat-syarat tertentu.
3.         Mujtahid fih, ialah hukum-hukum syariah yang bersifat amali (taklifi).
4.         Dalil syara untuk menentukan suatu hukum bagi mujtahid fih (nadiyah syafari al-umari, t.th: 199-200)   




BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Al-Qur’an merupakan adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian, apabila bukan Allah dan tidak diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW tidak dinamakan Al-Qur’an.
Hadis yang diriwayatkan dari Muad bin Jabar ketika ia diutus ke Yaman, menjawab pertanyaan Rasulullah dengan apa ia memutuskan hukum, ia menjelaskan secara berurutan, yaitu dengan Al-Qur’an kemudian dengan Sunnah Rasulullah, dan kemudian dengan melakukan Ijtihad.
Rasulullah mengakui hal itu dengan mengatakan : “Segala puji bagi Allah yang telah memberi tauhid atas diri utusan dari Rasulullah dengan apa yang diridhai oleh Allah dengan Rasulnya.
B. Saran
Kita sebagai mahasiswa harus bisa membedakan antara Al-Qur’an, sunnah, dan ijtihad sebagai acuan dalam sumber hukum islam. Kami selaku penyusun makalah, [6]pasti banyak kekurangan dalam menyusun makalah ini, utntuk itu, kami mengharapkan kriti dan sarannya supaya makalah ini lebih sempurna dalam penyusunannya.


















DAFTAR PUSTAKA


A. Mukti Ali, Memahami beberapa Aspek Ajaran Islam. Mizan, Bandung, 1996
Daud Rasyid, Islam dalam Berbagai Dimensi. Gema Insani Press, Jakarta, 1998
Drs. Atang Abd. Hakim, MA, Dr. Jaih Mubarok,  Metodologi Studi Islam. Remaja Rosda Karya Bandung, 2000
Dr. H. Abuddinata, MA, Metodologi Studi Islam. Raja Grafindo Persada. 2000
Sahrodi, Jamali. Metodologi Studi Islam, Pustaka Setia. Bandung, 2008
Syafe’i, Rahmat. Ilmu Ushul Fiqih. Pustaka Setia, Bandung, 2007
Qodir Ahmad, Muhammad Abdul, Pengantar Studi Islam. Rineka Cipta. Jakarta, 2008


























[1] Drs. Atang Abd. Hakim, MA, Dr. Jaih Mubarok,  Metodologi Studi Islam. Remaja Rosda Karya Bandung, 2000

[2] Yang dimaksud dengan Torah ialah kitab-kitab lima yang pertama dalam bibel, yaitu Kitab Kejadian, Kitab Keluara, Kitab Imamat Orang Levi, Kitab Bilangan dan Kitab Ulangan, Lihat Maurice Bucaile, Bibel, Quran dan Sains Modern, Jakarta : Bulan Bintang 1978 : hlm 4
[3] W. Montgomery Watt, Pengantar Studi Al-Qur’an, Jakarta : Rajawali Press, 1995, hl vi
[5] Pengertian Sunah di atas bersumber dari buku ilmu Ushul Fiqih.Prof. DR. Rachmat Syafe’I, Bandung : Pustaka Setia, 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar